Dia menambahkan bahwa banyak PKL merasa khawatir dimintai retribusi sebesar Rp 30 ribu. Padahal, pendapatan harian mereka mungkin hanya berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Ia memberikan contoh tentang PKL yang terpaksa pergi karena takut dipaksa untuk menyerahkan retribusi harian tersebut.
Aturan retribusi tersebut sudah sesuai dengan Perda
Tatag merasa prihatin karena PKL lebih memilih untuk mengadukan masalah ini kepadanya daripada kepada anggota dewan, yang menunjukkan kurangnya kepekaan dari penyelenggara pemerintahan.
Sementara itu, menanggapi hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sragen, Rina Wijaya, menjelaskan bahwa aturan retribusi tersebut sudah sesuai dengan Perda dan telah mendapatkan izin dari pimpinan.
Dia mengklarifikasi bahwa retribusi sebesar Rp 30 ribu per hari tidak berlaku bagi PKL yang telah menyewa lapak tahunan atau yang bekerja sama dengan DLH.
“Itu hanya berlaku pada saat event besar, seperti kemah atau pengajian. Tidak setiap saat,” jelas Rina.
Rina menambahkan bahwa kebijakan ini justru bertujuan untuk menghindari pungutan liar tanpa karcis. “Daripada dipungut tanpa karcis, lebih baik liar. Makanya kami memberikan informasi melalui MMT itu,” tegasnya.
Rina menegaskan bahwa retribusi DLH sudah transparan dengan adanya karcis resmi dan telah disosialisasikan dalam pertemuan dengan paguyuban PKL dan anggota DPRD.
“Itu sudah sesuai dengan Perda, pertemuan dengan paguyuban yang dihadiri oleh anggota DPRD sudah kami sampaikan, untuk memperlakukan Perda ini,” tutupnya.






