diswaysolo.id – Di balik gemerlapnya pagelaran wayang yang memukau penonton, terdapat sosok dalang muda yang terus menunjukkan sinarnya. Adalah Ki Haryo Susilo, putra dari almarhum Ki Enthus Susmono, yang sekarang mengambil peran besar dalam dunia pedalangan, sepeninggal Ayahandanya yang terkenal sebagai salah satu dalang legendaris Indonesia.
Dalang muda itu muncul dari balik pintu kediamannya saat Radar Tegal berkunjung ke Sanggar Putra Satria Laras yang beralamat di Jalan Projosumarto II, Desa Bengle, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Senin siang menjelang sore, 3 Februari 2025. Selayaknya seorang pemuda, dia berpenampilan segar. Berkaus lengan pendek dan memakai sarung.
Pemuda yang dilahirkan dengan nama Firman Haryo Susilo dari pasangan Enthus Susmono dan Romiyati itu mempersilakan Radar Tegal untuk duduk di pendapa berkarpet merah yang biasa digunakan untuk menerima tamu dan menggelar acara. Di sekitar tempat kami duduk terpampang puluhan wayang golek, juga foto-foto Haryo bersama sederet tokoh nasional.
Tidak ketinggalan, lima lukisan Punakawan terpajang pada dinding. “Itu dibeli dari Om Wowok,” kata Haryo yang memiliki nama panggung Ki Haryo Susilo, menyebut nama perupa kondang Kota Tegal, Wowok Legowo. Selain soal lukisan, pria 31 tahun ini antusias berbincang tentang Manchester United, kesebelasan Liga Inggris favoritnya.
Haryo mengaku mulai mendalang semenjak dia duduk di Kelas 6 SD Al Irsyad Kota Tegal. Bukan Ki Enthus, bukan pula Ibunya Romiyati, namun kepala sekolahnya lah yang mendorong Haryo untuk mulai mendalang. Namanya Pak Tholib. Ayahnya sendiri justru bertanya-tanya. “Ader (Memangnya) Haryo bisa?” ucap Haryo menirukan reaksi Ki Enthus yang dipanggilnya Abah, kala itu.
Seperti putra kiai yang lazimnya nyantri di kiai lain, Haryo belajar mendalang di dalang lain. Guru mendalang pertamanya adalah Ki Sunoto Kramat. Ki Enthus rupanya memperhatikan. Karena memiliki standar tinggi, Ki Enthus kurang puas melihat perkembangan Haryo. Dia akhirnya turun tangan menggembleng putranya yang memasuki Kelas 10 SMA Negeri 1 Kota Tegal.
Jalankan Titah Abah
Karena standar tinggi yang diterapkan Abahnya itu, Haryo merasa dalam tekanan. Itu dirasakannya tidak mudah. Suatu ketika, dia bahkan sempat akan dipukul dengan menggunakan gamelan oleh Ki Enthus, karena tidak bisa menguasai materi yang diberikan dalam latihan. Haryo saat itu melihat sosok menyeramkan dalam diri Ki Enthus.
Peristiwa tersebut sangat membekas dalam benak Haryo dan membuatnya sempat mengalami fobia dengan wayang. Tidak hanya itu, sampai menyebabkan hubungan dengan Abahnya renggang.
“Waktu itu saya sempat tidak berkomunikasi dengan Abah, tidak meminta uang,” tutur suami dari Rachmatia Ayu Pratiwi mengenang masa lalunya.
Untungnya, konflik tersebut bisa didamaikan Endang Supadmi, Guru Seni Budaya SMA Negeri 1 Kota Tegal. Karena fobia dengan wayang, Haryo mencurahkan bakat keseniannya di Teater Q asuhan Rudi Iteng. Selain itu, di Grup Musik Etnik Kontemporer Lincak Perkusi di bawah komando Sutradara Film Turah Wicaksono Wisnu Legowo, dan menjadi pemusik di Teater RSPD arahan Yono Daryono.
Selepas SMA, Haryo melanjutkan pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Saat akan mendaftar, pertentangan tidak terelakkan antara Haryo dan Ki Enthus, karena bukannya Jurusan Seni Pedalangan, Haryo justru memilih Jurusan Psikologi. Di UMS, dia bergabung dengan Teater Lugu Unit Kegiatan Mahasiswa Psikologi.
Setelah lulus kuliah dengan Indeks Prestasi Kumulatif 3,78, Haryo membuka usaha warteg di Solo. Namun, hanya bertahan enam bulan. Diam-diam, Haryo mendaftar di Pertamina dan diterima di salah satu vendornya. Singkat cerita, dia diminta resign dari pekerjaannya oleh Ki Enthus yang saat itu mencalonkan diri dalam Pemilihan Bupati Tegal.
Haryo diberi mandat untuk mengurus manajemen Satria Laras dan mendapatkan gaji dari Ki Enthus. Pekerjaan ini sekaligus mengantarkan Haryo berjumpa dengan dalang-dalang sahabat Ki Enthus di Solo dan Sragen, salah satunya almarhum Ki Manteb Sudarsono. Momen tersebut menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi anak kedua dari empat bersaudara ini.
Pada suatu ketika, Ki Enthus bertitah bahwa Haryo lah yang akan melanjutkan Wayang Santrinya. “Kiye mbesuk sing nglanjutna Wayang Santri Haryo. Koen luwih pinter, alim, soleh sing Abah. (Suatu saat yang melanjutkan Wayang Santri Haryo. Kamu lebih pintar, alim, dan saleh dari Ayah),” ungkap Haryo menirukan titah Abahnya yang disampaikan di depan banyak orang.
Haryo fokus terjun mendalang setelah meninggalnya Ki Enthus pada Mei 2018. Selain istiqomah menjalankan titah Abah, dawuh dari Habib Luthfi dan Gus Miftah berperan besar meyakinkan Haryo untuk melanjutkan kiprah Ki Enthus. Habib Luthfi dan Gus Miftah memerintahkan Haryo agar dapat membawakan Wayang Santri yang sudah digandrungi masyarakat.
Namun sebagaimana dipesankan oleh Gus Miftah, Haryo tidak mau memanfaatkan nama besar Ki Enthus. Semangatnya menanam, bukan memanen. Jalan terjal pun dilalui Haryo, mulai dari nol. Selain terus dibanding-bandingkan dengan Ki Enthus pada awal kemunculannya, dia merasakan betapa getirnya ditinggal penonton saat sedang pentas.
Penonton saat itu merasa Haryo tidak selucu Ki Enthus. Meski demikian, kegetiran tersebut tidak lantas menyurutkan langkahnya. Bak pepatah seorang pelaut andal tidak terlahir dari laut yang tenang, pria yang hobi bermain game sepakbola di Play Station tersebut terpacu. Hingga pada akhirnya bisa merebut hati penonton dengan keharyoannya.
Haryo terlepas dari bayang-bayang Ki Enthus di tahun keempat pentasnya dari panggung ke panggung. Ayah dari Panji Haryo Abdillah ini bertekad membuka pintu-pintu yang belum sempat dibuka Abahnya. Dia akan terus merawat memori Ki Enthus yang telah hidup dalam ingatan masyarakat. Demikianlah wujud bakti seorang Haryo kepada Ayah yang sangat dicintai dan dihormatinya.






