Menelusuri 5 Tradisi di Boyolali yang Memiliki Makna Seni dan Budaya yang Masih Terjaga

TRADISI DI BOYOLALI - Salah satu tradisi di Boyolali adalah padusan menjelang bulan Ramadhan.
TRADISI DI BOYOLALI - Salah satu tradisi di Boyolali adalah padusan menjelang bulan Ramadhan.

BOYOLALI, diswaysolo.id – Tradisi budaya merupakan warisan yang sangat berharga, diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap tradisi menyimpan cerita, nilai, dan makna yang menghubungkan kita dengan akar budaya nenek moyang.

Melalui tradisi ini, kita dapat memahami sejarah, identitas, dan kedalaman peradaban manusia. Meskipun Boyolali kini merupakan kota yang modern, banyak acara tradisi seni dan budaya yang masih dipertahankan hingga saat ini.

Tradisi yang diwariskan oleh para leluhur tetap dijaga dengan baik. Masyarakat Boyolali berkomitmen untuk melaksanakan acara-acara tradisi ini agar tidak punah oleh perkembangan zaman. Beberapa tradisi bahkan telah ada selama ratusan tahun.

Dalam artikel ini akan kami telusuri tentang tradisi di Boyolali yang memiliki makna seni dan budaya yang masih terjaga. Mari kita simak dan baca sampai selesai ya!

Berikut ini terdapat tradisi yang perlu Anda ketahui berasal dari Boyolali:

Kirab Budaya

Setiap tanggal 1 bulan Muharram, masyarakat di lereng Gunung Merapi dan Merbabu melaksanakan Tradisi Kirab Budaya. Kegiatan ini berlangsung di Dukuh Ngagklik dan Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo.

Tradisi ini merupakan ungkapan syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berbagai nikmat dan rezeki yang telah diterima.

Acara inti dari tradisi ini adalah penyatuan air yang berasal dari Gunung Merapi dan Merbabu. Diharapkan, dengan bersatunya kedua sumber air ini, akan terjalin rasa gotong royong dan kekompakan di antara masyarakat yang tinggal di sekitar kedua gunung tersebut.

Acara dimulai dengan wilujengan, yaitu doa dan harapan agar seluruh rangkaian kegiatan berjalan dengan baik, dilanjutkan dengan pembuatan tumpeng besar dari hasil pertanian.

Masyarakat kemudian berarak menuju Simpang Paku Buwono IX, yang menjadi pusat kegiatan Kirab Budaya. Di lokasi tersebut, akan dilaksanakan ritual sakral penyatuan air dari kedua sumber.

Baca Juga:  Situs Candi Sari Boyolali Peninggalan Mataram Hindu Kuno

Sebelum air disatukan, perwakilan akan menyerahkan air dari Gunung Merapi dan Merbabu kepada sesepuh desa, yang kemudian akan mencampurkan air tersebut.

Setelah proses penyatuan air selesai, air tersebut akan disimpan di Pesanggrahan Kebokanigoro di Dukuh Pojok. Setelah ritual selesai, masyarakat dan pengunjung dapat mengambil hasil bumi dari tumpeng besar yang telah diarak. Rangkaian acara Kirab Budaya biasanya ditutup dengan pertunjukan seni, seperti reog, sholawatan, atau wayang.

Sadranan

Sadranan adalah tradisi yang sangat dikenal oleh masyarakat Boyolali dan sekitarnya. Kegiatan ini melibatkan pembersihan makam leluhur dan ziarah kubur, diiringi dengan doa dan kenduri.

Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan Ruwah (menurut penanggalan Jawa) atau menjelang bulan Ramadan, dan sering disebut sebagai Nyadran. Hingga kini, tradisi ini tetap terjaga dan dilaksanakan dengan baik.

Bagi masyarakat Kecamatan Cepogo, Nyadran memiliki makna yang sangat penting, mirip dengan perayaan Lebaran. Banyak warga perantauan yang pulang kampung untuk berpartisipasi dalam tradisi ini.

Pelaksanaan Nyadran umumnya dilakukan pada pagi hari, di mana masyarakat berziarah sambil membawa tenong, yaitu wadah makanan yang terbuat dari anyaman bambu.

Setelah itu, doa untuk para leluhur dipimpin oleh sesepuh desa atau pemimpin setempat. Kegiatan ini diakhiri dengan makan bersama, di mana semua peserta dipersilakan mengambil makanan yang telah disediakan di tenong. Sebagian masyarakat meyakini bahwa jika tenong mereka habis disantap, rezeki di tahun berikutnya akan semakin lancar dan penuh berkah.

Tradisi Saparan

Saat bulan Sapar tiba, masyarakat Boyolali melaksanakan tradisi Saparan. Tradisi ini ditandai dengan prosesi arak-arakan apem keong mas yang dimulai dari kantor kecamatan Banyudono dan dibagikan kepada masyarakat di sekitar Masjid Ciptomulyo. Gunungan apem setinggi 2,5 meter ini selalu menjadi incaran warga.

Baca Juga:  Area Foto Terbaru di Emmon Boyolali Menawarkan Panorama Gunung dan City View

Tradisi yang telah ada selama ratusan tahun ini berakar pada masa pemerintahan Paku Buwono II di Keraton Surakarta. Diceritakan bahwa pada masa itu, terjadi wabah hama keong emas yang menyerang tanaman penduduk.

Sebagai respons, Sang Raja memerintahkan untuk mengolah keong mas tersebut dengan cara dikukus dan dibalut dengan janur, yaitu daun kelapa muda.

Setelah wabah tersebut berlalu, masyarakat mengungkapkan rasa syukur mereka dengan membuat apem yang kemudian dibagikan kepada banyak orang.

Sebelum acara ini dimulai, biasanya diadakan malam tirakatan, tahlil, dan doa bersama. Tradisi ini melambangkan kebersamaan antar warga, saling membantu, dan memperkuat persatuan di antara mereka.

Tradisi Padusan

Menjelang bulan Ramadan, masyarakat Boyolali biasanya melaksanakan tradisi untuk menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa, yang dikenal dengan sebutan padusan.

Tradisi ini telah ada sejak zaman Hindu dan merupakan warisan dari nenek moyang, yang awalnya dilakukan dengan cara berendam di umbul. Padusan sudah ada sejak era Wali Songo pada abad ke-15 dan ke-16.

Tujuan dari tradisi ini adalah untuk merenungkan dan merefleksikan kesalahan di masa lalu, sehingga individu dapat memperbaiki hubungan dengan Tuhan.

Selain itu, tradisi Padusan juga mengajarkan nilai-nilai keagamaan, kebersamaan, dan kepedulian sosial, serta memperkaya dan memperkuat identitas budaya masyarakat.

Umumnya, warga Boyolali akan mengunjungi beberapa umbul untuk melaksanakan tradisi ini, seperti Umbul Pengging, Umbul Tlatar, Umbul Tirto Mulyo, dan umbul-umbul lainnya.

Kirab Bakdo Sapi

Kirab Bakdo Sapi merupakan sebuah tradisi yang biasanya diadakan untuk merayakan hari-hari besar keagamaan atau sebagai bagian dari perayaan budaya, khususnya pada hari kedelapan bulan Syawal.

Dalam acara ini, sapi-sapi dihias dengan bakdo, yaitu rakit tradisional yang digunakan untuk mengangkut barang atau hasil pertanian. Bakdo tersebut didekorasi dengan berbagai hiasan yang menarik dan berwarna-warni, menciptakan pemandangan yang menawan.

Baca Juga:  Svarga Timboa, Pengalaman Berkemah Mewah di Boyolali

Sebelum kirab dimulai, sapi-sapi yang akan berpartisipasi dipersiapkan dengan seksama. Mereka dibersihkan, dihias, dan diberikan perawatan khusus agar tampil maksimal dalam perarakan.

Selain sapi, masyarakat setempat juga ikut ambil bagian dengan mengenakan pakaian adat, membawa sesajen, dan memainkan alat musik tradisional.

Kirab ini tidak hanya sekadar perayaan yang indah secara visual, tetapi juga mengandung makna yang mendalam. Tradisi ini mencerminkan rasa syukur masyarakat atas hasil pertanian dan kesejahteraan yang mereka nikmati. Selain itu, kirab ini juga menjadi kesempatan untuk memperkuat hubungan antarwarga dan melestarikan budaya lokal.

Dalam acara kirab ini, sapi-sapi yang dihias dengan bakdo akan diarak mengelilingi desa atau kota, diiringi oleh alunan musik tradisional yang menyemarakkan perjalanan mereka.

Prosesi ini biasanya disambut dengan antusias oleh masyarakat yang berkumpul di tepi jalan untuk menyaksikan dan merayakan bersama.

Tarian-tarian tradisional juga seringkali menjadi bagian dari acara ini, menambah suasana yang megah dan meriah. Kirab Bakdo Sapi tidak hanya merupakan elemen penting dalam identitas budaya mereka, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang mampu menarik banyak pengunjung.

Demikian penelusuran tentang tradisi di Boyolali yang memiliki makna seni dan budaya yang masih terjaga. Semoga bermanfaat.

Sumber : Radarsolo.com