Klaten  

3 Pemuda Mendaki Merapi Hanya Pakai Sandal Jepit dan Tumbler

Klaten,diswaysolo.id – Gunung Merapi kembali menjadi sorotan setelah insiden tragis melibatkan tiga pemuda yang nekat mendaki tanpa persiapan yang memadai.

Ketiganya bukanlah pendaki berpengalaman, bahkan hanya menggunakan sandal jepit dan membawa satu tumbler untuk kebutuhan mereka sepanjang perjalanan.

Aksi nekat itu terjadi di jalur yang sebenarnya bukan rute resmi pendakian. Upaya pencarian dan evakuasi akhirnya menemukan satu korban tewas. Sementara dua lainnya berhasil selamat dalam kondisi berbeda.

Peristiwa ini mengingatkan kembali pentingnya persiapan matang sebelum menaklukkan gunung berbahaya seperti Merapi.

3 Pemuda Mendaki Merapi

Pada Sabtu dini hari, tiga pemuda bernama Farhan, Panji Rizky, dan Aldo memutuskan untuk mendaki Gunung Merapi secara ilegal tanpa perlengkapan yang cukup.

Fakta itu terungkap saat tim SAR gabungan menemukan bahwa perlengkapan mereka jauh dari standar keselamatan.

Bahkan salah satu dari mereka hanya memakai sandal jepit dan membawa satu buah tumbler sebagai bekal minum.

Tidak ada perlindungan terhadap cuaca dingin, tidak ada peralatan memadai untuk jalur ekstrem, dan tidak ada persiapan logistik yang lengkap.

Alih-alih mengikuti jalur pendakian resmi seperti Sapu Angin atau Selo, ketiganya memulai perjalanan dari kawasan Kalitalang di Desa Balerante, Klaten — area yang bukan jalur resmi pendakian Gunung Merapi.

Jalur ini dikenal berbahaya karena minimnya titik penanda dan akses, serta sering dilalui hanya oleh warga lokal atau tim SAR saat operasi.

Meski berhasil mencapai dekat puncak pasca lewat Pasar Bubrah, langkah mereka menjadi bumerang ketika harus turun sendiri tanpa panduan peta dan alat bantu navigasi.

Saat memutuskan turun dari puncak, mereka memilih jalur berbeda. Alih-alih kembali ke jalur awal, kedua pendaki — Farhan dan Aldo — bersama Panji Rizky mencoba menuruni Sapu Angin.

Baca Juga:  Jajanan Tradisional Klaten yang Sehat, Murah dan Unik Bisa Kamu Temukan di Pasar

Namun, di sekitar Pos 2 dekat panel surya, kelelahan mulai menyerang. Panji tertinggal karena kelelahan dan memilih bermalam di tempat itu, sementara Farhan dan Aldo turun lebih jauh untuk mencari bantuan.

Sayangnya, jalur yang mereka pilih kemudian menjadi jalur samping yang curam dan tak terawat.

Setelah Farhan berhasil melapor kepada warga di Desa Tegalmulyo pada hari Minggu, pihak berwenang langsung menurunkan tim SAR gabungan untuk pencarian.

Hujan deras dan badai menjadi dua tantangan berat selama operasi. Pada hari Senin, tim akhirnya menemukan Panji dalam kondisi lemah dan segera mengantarnya ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan.

Pencarian Intensif

Selanjutnya pencarian intensif fokus pada Aldo. Dengan melibatkan puluhan personel SAR dari berbagai unit serta dukungan teknologi drone.

Sayangnya, upaya itu berakhir tragis. Aldo Oktawijaya, 22 tahun, ditemukan tewas di sebuah jurang yang sangat terjal dan jarang dilalui manusia.

Posisi jenazahnya terjepit di antara batu besar di tengah tebing, menunjukkan betapa ekstremnya medan yang harus dilalui.

Kondisi ini membuat operasi evakuasi semakin kompleks dan penuh risiko bagi tim SAR. Insiden ini sekaligus menjadi pengingat beratnya konsekuensi pendakian tanpa persiapan — bukan hanya risiko fisik, tetapi juga nyawa.

Peristiwa pendakian ilegal yang menimpa tiga pemuda di Gunung Merapi ini mencerminkan betapa pentingnya etika pendakian dan persiapan matang sebelum menantang gunung berapi aktif.

Keberanian tanpa bekal memadai justru mengundang bencana, seperti yang berujung pada tewasnya salah satu pendaki.

Gunung Merapi bukan sekadar tantangan fisik; ia menuntut kesiapan mental, pengetahuan medan, dan peralatan yang lengkap.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pecinta alam agar selalu menghargai keselamatan di atas segalanya.

Baca Juga:  Mengintip Kesejukan Alam Wisata Umbul Besuki Klaten, Taman Rekreasi Air Alami