Surakarta,diswaysolo.id – Pada Jumat malam (7/11/2025), Keraton Kasunanan Surakarta menggelar tahlilan tujuh hari untuk mengenang wafatnya Paku Buwono XIII.
Acara berlangsung khidmat di lingkungan keraton dengan melibatkan keluarga kerajaan, abdi dalem, kerabat serta warga umum.
Semua tamu diminta mengenakan pakaian adat Jawa atau berpakaian rapi sesuai protokol acara.
Suasana dipenuhi rasa duka namun tetap hangat oleh kehadiran warga yang ingin mendoakan almarhum raja.
Suasana Tahlilan
Acara tahlilan dimulai sekitar pukul 20.00 WIB dan berlangsung di Sasono Parasdya, salah satu ruang utama di kompleks Keraton Surakarta.
Di bawah penerangan lampu yang lembut, berkat-berkat (hidangan sesaji) diletakkan dengan tertata rapi sebagai bagian dari ritual.
Keluarga kerajaan menempati tempat khusus, sementara masyarakat umum dipersilakan untuk hadir dan turut berdoa.
Kehadiran warga dari Kelurahan Baluwarti menunjukkan bahwa acara ini tidak hanya bersifat internal keraton tetapi juga terbuka bagi masyarakat sekitar.
Seorang warga, Sulastri, menyatakan ia datang bersama satu RT untuk ikut mendoakan almarhum.
Ia mengaku bukan bagian abdi dalem atau kerabat kerajaan, namun merasa bangga karena rumahnya dekat keraton sehingga ia bisa ikut merasakan suasana.
Dari sisi adat dan tata busana, terlihat laki-laki mengenakan beskap lengkap, perempuan menggunakan kebaya, dan masyarakat umum mengenakan batik, gamis atau kemeja rapi.
Penggunaan pakaian adat ini memperkuat nuansa penghormatan terhadap tradisi keraton dan almarhum Paku Buwono XIII.
Adanya kehadiran berbagai lapisan masyarakat mencerminkan kedekatan keraton dengan komunitas sekitarnya.
Dalam sambutannya, putra tertua almarhum, KGPH Mangkubumi (atau dikenal Hangabehi) menegaskan bahwa keraton masih dalam masa berkabung dan akan melanjutkan rangkaian ritual seperti 40 harian.
Ia menambahkan bahwa museum keraton akan tetap buka selama masa berkabung, dan tidak akan ditutup selama periode 40 hari agar artefak peninggalan tetap dirawat dan masyarakat tetap bisa mengunjungi.
Acar aTahililah jadi momentum Berkumpul
Acara tahlilan ini sekaligus menjadi momen komunitas untuk berkumpul, merenung, dan memperkuat rasa kebersamaan.
Warga merasakan bahwa suasana damai di sekitar keraton membawa kesejukan bagi lingkungan mereka.
Sebagaimana diungkapkan Sulastri: “Semoga tentram, ayem tentrem, adem ayem.” Momen ini juga memperlihatkan bagaimana tradisi keraton tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat urban seperti Solo.
Ritual tujuh harian untuk Paku Buwono XIII di Keraton Kasunanan Surakarta tidak hanya sebuah upacara tradisional, tetapi juga penanda hubungan antara keraton dan masyarakat.
Melalui tahlilan, pakaian adat, dan keterbukaan terhadap warga umum, terlihat bahwa warisan budaya Jawa dan nilai kebersamaan tetap dijaga.
Suasana duka tetap terwarnai harapan agar keraton dan lingkungan sekitarnya terus hidup dengan adem ayem.
Semoga dalam rangkaian 40 harian nanti, keraton dan masyarakat dapat melanjutkan kebersamaan dan menghormati tradisi tanpa kehilangan makna.






