Persaingan Suksesi di Keraton Kasunanan Solo

Surakarta,diswaysolo.id – Di tengah hiruk-pikuk proses suksesi keraton di Keraton Kasunanan Surakarta, muncul pernyataan yang memantik perhatian publik.

Seorang kerabat inti mengklaim posisi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Raja, sementara pihak lain telah melangsungkan pengukuhan raja baru.

Ketegangan ini merefleksikan bagaimana tradisi dan aturan internal keraton masih menjadi ruang tarik-menarik antara stabilitas dan hak keluarga besar.

Artikel ini akan mengulas lebih dalam terkait klaim tersebut, latar belakangnya, respons berbagai pihak, serta implikasi ke depan bagi keraton dan masyarakat.

Keraton Kasunanan Solo 

Pada Rabu, 5 November 2025, muncul berita bahwa salah seorang adik dari mendiang Paku Buwono XIII, yakni KGPAA Tedjowulan,  menyatakan dirinya menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Raja Keraton Kasunanan Surakarta.

Pernyataan ini melalui juru bicara Tedjowulan, yakni Bambang Ary Pradotonagoro, yang menyebut bahwa sejak wafatnya Paku Buwono XIII, Tedjowulan telah menjalankan fungsi maha menteri yang mendampingi almarhum dalam pengelolaan keraton.

Berdasarkan SK dari Kementerian Dalam Negeri nomor 430-2933 Tahun 2017, masa jabatan maha menteri ini memang telah ada aturan sebagai bagian dari struktur pengelolaan keraton.

Sementara itu, pihak lain telah mengukuhkan KGPAA Hamangkunegoro sebagai Raja baru dengan gelar Paku Buwono XIV, melalui prosesi internal keraton.

Pernyataan Tedjowulan sebagai Plt bukan berarti pengangkatan raja baru secara definitif, melainkan sebagai pos sementara hingga pengambilan keputusan keluarga besar keraton selesai.

“Posisi beliau sebagai Plt, bukan sebagai pengganti raja. Sampai nanti penentuannya (PB XIV) sesuai kesepakatan keluarga besar,” ujar Bambang Ary.

Alasan utama penunjukan Plt adalah untuk menahan potensi konflik suksesi yang pernah muncul sebelumnya, misalnya pada tahun 2004 ketika muncul klaim ganda atas kepemimpinan keraton.

Baca Juga:  Sarapan Kopi Resto, Destinasi Wisata Kuliner yang Menarik di Solo

Bambang Ary menegaskan bahwa tugas Tedjowulan sebagai Plt yakni untuk menjaga agar keraton tetap stabil sementara menunggu proses internal selesai.

Mekanisme seperti menunggu “masa hening” selama 40 sampai 100 hari itu sebagai bagian dari paugeran (aturan adat) keraton yang harus ada penghormatan.

Walaupun Hamangkunegoro telah mengukuhkan diri, status pengukuhan tersebut masih menunggu persetujuan keluarga besar dan tidak otomatis menjadikan beliau sah sebagai Raja.

Raja Baru

Tedjowulan dan pihak maha menteri keraton mengatakan bahwa belum ada pembicaraan resmi dengan seluruh keluarga besar untuk menetapkan sah atau tidaknya pengukuhan tersebut, karena memang harus lewat tahapan adat terlebih dahulu seperti masa hening.

Lebih lanjut, dalam pernyataannya Bambang Ary menyebut bahwa tidak hanya Tedjowulan yang berpotensi menjadi Raja baru. Namun sejumlah kerabat lain, seperti Gusti Puger, Gusti Dipokusumo, bahkan pihak yang lebih muda sekalipun.

Hal ini menunjukkan bahwa proses suksesi di keraton tidak otomatis mengikuti satu linimasa tunggal. Melainkan melibatkan banyak trah (cabang keluarga) dan mekanisme musyawarah oleh tradisi dan adat istiadat keraton.

Kasus ini menampilkan bagaimana institusi tradisional seperti Keraton Kasunanan Surakarta menghadapi tantangan modernisasi dan internalitas keluarga besar.

Klaim Tegjowulan sebagai Plt Raja, pengukuhan Hamangkunegoro sebagai Raja baru, hingga mekanisme tunggu-menunggu masa hening menegaskan bahwa suksesi keraton bukan sekadar seremonial, tetapi juga proses politik, sosial, dan budaya yang kompleks.

Ke depan, menjaga keutuhan keluarga keraton, transparansi proses suksesi, dan penghormatan terhadap paugeran adat akan menjadi kunci agar keraton tetap relevan dan dihormati.

Dengan demikian, seluruh pihak diharapkan bersikap sabar dan menghormati tradisi demi kelangsungan warisan budaya yang bernilai tinggi ini.