Brebes,diswaysolo.id – MTs Negeri 2 Brebes mendadak menjadi sorotan publik setelah mengeluarkan surat edaran yang meminta agar wali murid tidak mengajukan tuntutan apabila anaknya mengalami keracunan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Surat tersebut memicu reaksi keras karena ada anggapan membebani orang tua dengan risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab sekolah.
Setelah muncul kontroversi, pihak sekolah menyatakan surat itu sudah ditarik dan tidak berlaku.
Namun, dampaknya tetap terasa, terutama karena muncul pertanyaan: sampai sejauh mana pihak sekolah bisa menghindar dari tanggung jawab jika terjadi kegagalan dalam program nutrisi bagi siswa.
MTs Negeri 2 Brebes
MTs Negeri 2 Brebes mengeluarkan surat yang meminta wali murid membuat pernyataan persetujuan bahwa mereka tidak akan menuntut secara hukum jika anaknya sebagai penerima MBG mengalami beberapa jenis masalah.
Misalnya sakit perut, diare, mual, reaksi alergi terhadap bahan makanan yang mungkin belum diketahui, atau kontaminasi ringan akibat lingkungan dan distribusi makanan.
Selain itu, poin lain dalam surat menyebut bahwa orang tua juga harus bersedia membayar ganti rugi sejumlah Rp 80.000 jika fasilitas makanan (omprengan) rusak atau hilang.
Wali murid yang menolak surat pernyataan itu menyebut bahwa klausul-klausul yang meminta mereka tidak menuntut jika terjadi hal buruk terasa merugikan.
Seorang wali murid menuturkan, “Kalau memang niat membantu, kenapa justru kami dibebani risiko begitu banyak?”
Sementara itu, Korwil BGN Kabupaten Brebes (Bina Gizi dan Nutrisi), Arya Dewa Nugroho, menyatakan bahwa surat itu dibuat oleh MTs Negeri 2 Brebes sendiri, dan bukan dari pihak BGN.
Ia juga memastikan bahwa BGN tidak akan lepas tangan jika terjadi keracunan atau masalah yang muncul dari program MBG.
Pihak MTs Negeri 2 Brebes, melalui Humas yang bernama Jenab Yuniarti, mengatakan bahwa surat itu sudah ditarik dan kini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Meski begitu, pihak sekolah tidak mau bertemu secara langsung untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut—komunikasi dilakukan lewat pesan singkat. Jenab menyatakan bahwa masalah surat tersebut sudah selesai.
Surat semacam ini membuka ruang pertanyaan tentang batas tanggung jawab sekolah dalam program pemberian makanan.
Dari sisi etika, wali murid berhak atas jaminan bahwa sekolah memprioritaskan keselamatan siswa.
Secara hukum, ada pertimbangan bahwa sekolah atau penyelenggara program tidak dapat sepenuhnya melepaskan tanggung jawab jika terjadi kelalaian atau pelanggaran standar keamanan pangan.
Kejadian ini juga menjadi pelajaran bagi institusi pendidikan dalam menyusun surat persetujuan atau perjanjian, terutama yang terkait dengan kesehatan siswa.
Persetujuan semacam itu harus disusun seadil mungkin, transparan, dan tidak merugikan pihak yang lebih lemah, dalam hal ini siswa dan wali murid.






