Surakarta,diswaysolo.id – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memimpin ziarah bersama untuk mengenang jasa Mangkunegara VII dalam dunia penyiaran, serta mengusulkan gelar Pahlawan Nasional di bidang penyiaran kepada beliau.
Acara dalam peringatan Hari Penyiaran Nasional ke-88 ini dipimpin langsung oleh Ketua KPI Pusat Agung Supriyo bersama jajaran komisioner dan anggota ATVSI.
Ziarah tersebut menjadi momen penting untuk menghormati kontribusi Mangkunegara VII dalam sejarah penyiaran nasional.
Dalam kesempatan ini, KPI secara resmi mengusulkan agar KGPAA Mangkunegara VII mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional di bidang penyiaran.
Ziarah ke Makam Mangkunegara VII
Komisi Penyiaran Indonesia pada momen Hari Penyiaran Nasional yang ke‑88 menggelar beberapa kegiatan penting. Salah satunya adalah ziarah ke makam KGPAA Mangkunegara VII.
Ketua KPI Pusat Agung Supriyo memimpin kegiatan bersama para komisioner dan perwakilan ATVSI.
Rangkaian acara “Napak Tilas Sejarah Penyiaran Indonesia” juga mencakup sepeda santai di Solo sebelum mereka tiba di makam untuk doa bersama.
KGPAA Mangkunegara VII mendapat penghormatan karena perannya sebagai pelopor penyiaran lokal.
Ia mendirikan Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1933, yang menjadi radio pertama milik orang Indonesia.
SRV tidak hanya menyuarakan informasi, tetapi juga menjadi media perjuangan kebudayaan dan bangsa di tengah keterbatasan waktu itu.
Berdasarkan itu, Agung Supriyo mencetuskan usulan gelar Pahlawan Nasional di bidang penyiaran kepada presiden.
Ziarah berlangsung di kompleks makam Astana Girilayu, Matesih, Karanganyar, lokasi peristirahatan terakhir Mangkunegara VII.
Kehadiran KPI dan ATVSI di makam menegaskan upaya pengakuan atas jasa beliau dalam sejarah media Indonesia.
Doa dan penghormatan yang tulus menjadi inti acara, memberi kesan mendalam pada peserta dan publik.
Momen ziarah juga menjadi pengingat bahwa tanpa keberanian individu seperti Mangkunegara VII, penyiaran nasional mungkin tak berkembang sejauh sekarang.
Selain ziarah, KPI mengadakan rangkaian acara seperti seminar, literasi media, hingga bakti sosial, yang dikemas dalam momentum peringatan Harsiarnas ke‑88.
Semua dirancang sebagai bentuk refleksi dan apresiasi terhadap sejarah penyiaran.
Upaya pemberian gelar Pahlawan Nasional ini mencuat sebagai wujud konkret penghormatan terhadap jasa Mangkunegara VII.
Jika pemerintah menyetujui, gelar ini akan menjadi pengakuan resmi bahwa sumbangsih beliau dalam dunia penyiaran setara dengan jasa-jasa pahlawan lain di bidang pendidikan, kemerdekaan, atau budaya.
Secara simbolis, ziarah dan usulan gelar Pahlawan ini adalah cerminan sinergi lembaga penyiaran dan pemerintah dalam melestarikan warisan nasional.
Hal ini membuka peluang diskusi lebih luas tentang bagaimana sejarah penyiaran dalam pendidikan, budaya, dan pengenalan generasi muda terhadap tokoh‑tokoh media klasik.
Ziarah pun menjadi ajakan bagi masyarakat untuk meneladani semangat inovasi dan patriotisme Mangkunegara VII—ia memperkuat bangsa lewat media dan budaya, bukan hanya melalui jalur politik.
Sebuah nilai luhur yang tetap relevan hingga hari ini.






