Tegal,diswaysolo.id – Bendungan Pintu Seng—Dirancang Belanda 1807—Terus Mengairi Sawah, Pencegah Banjir, dan Pusat Tradisi “Pengeringan” Tahunan.
Saya mengenalkan Pintu Seng Sidapurna sebagai salah satu bangunan peninggalan kolonial di Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal.
Warga mengenalnya sebagai bendungan yang memegang peran vital sejak 1807, membendung aliran Sungai Kemiri sebelum air mengalir ke Kota Tegal.
Setiap tanggal 1 Oktober, masyarakat merayakan tradisi “pengeringan” saat pintu air dibuka dan aliran surut—ini jadi momen berburu ikan dan berkumpul yang ditunggu sepanjang tahun.
Pintu Seng Sidapurna
Pintu Seng, yang juga dikenal sebagai Bendungan Sidapurna, dibangun sekitar tahun 1807 oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari sistem irigasi Kali Kemiri.
Bendungan itu mengalirkan air ke lahan sawah warga sekaligus menahan limpasan air yang berpotensi mengakibatkan banjir di Kota Tegal.
Bendungan setinggi kira‑kira 3–4 meter itu hingga kini tetap berfungsi sebagaimana peruntukannya, membuktikan kualitas konstruksi kolonial yang awet.
Di depan pintu air, mengalir sungai kecil yang sering dimanfaatkan warga untuk mencuci dan anak-anak untuk berenang, terutama di sore hari, ketika aktivitas sosial dan ekonomi sekitar menghangat—ada warung makan, permainan, hingga canda tawa anak-anak.
Puncaknya adalah tradisi pengeringan yang digelar setiap tanggal 1 Oktober. Saat itu pintu air dibuka, dan aliran air di sisi selatan surut drastis.
Warga memburu ikan yang terjebak di aliran yang mengering, menjadikan momen sederhana ini simbol solidaritas dan kebersamaan komunitas.
Selain aspek teknis, Pintu Seng juga menyentuh sisi budaya. Beberapa versi menyebutkan bahwa bendungan ini dihuni sosok gaib seperti buaya putih besar dan entitas halus “buncul”, yang konon sering mengganggu anak-anak bermain di sungai dan bahkan dipercaya meminta tumbal tahunan.
Mitos-mitos ini menambah lapisan misteri dan kekayaan cerita di balik bangunan yang sebenarnya amat fungsional.
Kehadiran Pintu Seng kini lebih dari sekadar infrastruktur — ia jadi landmark kebudayaan dan sejarah hidup masyarakat Sidapurna.
Tradisi pengeringan mempertahankan ikatan antargenerasi, sementara fungsinya terus menopang pertanian dan mengurangi risiko banjir di Kota Tegal.






