SRAGEN, diswaysolo.id – Banyak pengusaha penggilingan padi di Sragen memilih untuk menghentikan operasional mereka selama beberapa hari. Masalah Beras Oplosan.
Keputusan ini diambil karena kekhawatiran terkait isu beras oplosan. Selain itu, juga ada pertimbangan situasi bisnis bagi pelaku usaha penggilingan padi.
Edi Narwanto, salah satu pemilik usaha penggilingan padi, mengonfirmasi bahwa banyak pabriknya telah berhenti beroperasi. Menurut Edi, penghentian ini sudah berlangsung selama beberapa hari, bahkan ada yang sudah seminggu.
Keputusan ini diambil setelah pabrik rice to rice atau pengolah beras PK yang menjadi beras putih juga berhenti beroperasi. Edi menjelaskan bahwa pabriknya hanya memproduksi beras pecah kulit (PK) yang kemudian dijual ke pabrik rice to rice untuk diolah menjadi beras premium atau medium.
Masalah Beras Oplosan, Penggilingan Padi Kini Tidak Beroperasi Lagi
Disinggung mengenai isu beras oplosan, Edi menegaskan bahwa istilah “beras oplosan” tidaklah tepat. Menurutnya, praktik yang mereka lakukan adalah kombinasi beberapa jenis beras untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik, bukan untuk menipu konsumen.
“Itu kan beras dicampur biar rasanya enak, pulen. Harus ada paduan yang wangi pulennya dari IR 64, terus wanginya dari Mentik. Itu bukan oplosan, iya kombinasi untuk menghasilkan beras yang bagus, tapi dianggap salah,” jelas Edi.
Edi menambahkan bahwa penghentian operasional ini adalah bentuk antisipasi. “Daripada takut ya sudah tutup saja,” ujarnya.
Dia menyatakan bahwa tidak ada arahan resmi dari Perhimpunan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) mengenai penghentian ini.
Baca juga: Korban MBG Bertambah Menjadi 251, Bupati Sragen Mengidentifikasi Tempat Pencucian yang Kurang Bersih
Namun, ia menambahkan bahwa para pengusaha beras mengambil langkah untuk menghentikan pembelian beras untuk sementara waktu.
“Tidak ada arahan, tetapi dari para pemimpin industri beras itu memutuskan untuk tidak membeli beras demi menjaga stabilitas. Jika ada pemeriksaan, biar tidak ada produksi yang seperti itu. Ini hanya perhitungan bisnis,” jelasnya.
Saat ini, harga gabah di pasar berkisar antara Rp7.450 hingga Rp7.850. Sementara itu, harga eceran tertinggi (HET) untuk beras pecah kulit (PK) adalah Rp11.900.
Penghentian operasional ini berdampak langsung pada para petani. Edi mengakui bahwa pembelian gabah dari petani juga mengalami penurunan.
“Ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi para penebas di sawah, pembelian kita kurangi. Jika kita buka lagi, gudang kecil tidak akan muat,” keluhnya.
Edi berharap pemerintah segera memberikan regulasi yang jelas. “Harapannya bisa kembali lancar, pemerintah memberikan aturan yang jelas kepada kita sehingga tidak ada lagi kekhawatiran dalam pengolahan beras.
Akhirnya, petani juga yang akan merasakan dampak positif jika distribusi beras berjalan lancar,” tutupnya.






