Menurut pihak kepolisian, penyelidikan terhadap kasus ini telah dimulai sejak 20 Oktober 2025.
Pada 24 November, Munif dan Pramandira secara resmi ditetapkan sebagai tersangka. Kedua aktivis ditangkap pada 27 November dini hari di sebuah indekos di Kecamatan Tlogosari, Semarang.
Penyidik menyatakan bahwa keduanya diduga menyebarkan konten yang bersifat “hasutan” berkaitan dengan aksi unjuk rasa pada 29 Agustus 2025.
Tuduhan resmi diberlakukan berdasarkan Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 160 KUHP.
Polisi sampai saat ini belum merinci secara gamblang konten spesifik yang dianggap melanggar atau waktu serta cara penyebarannya.
Pihak yang mendampingi Munif dan Pramandira — termasuk tim hukum dari WALHI Jawa Tengah dan advokat sipil — mengecam penangkapan ini sebagai tindakan sewenang-wenang.
Mereka menyoroti bahwa kedua aktivis tidak pernah dipanggil sebagai saksi sebelum ditetapkan tersangka, suatu prosedur dasar menurut KUHP/ KUHAP.
Penetapan tersangka pada 24 November dan penangkapan mendadak tiga hari kemudian juga dinilai melanggar aturan pemberitahuan penetapan tersangka atau status terlapor sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh karena itu, tim hukum menyatakan akan mempertimbangkan mengajukan praperadilan untuk membatalkan penetapan tersangka.
Penangkapan ini memicu gelombang protes dari komunitas aktivis, mahasiswa, dan organisasi lingkungan serta HAM.
Di hari yang sama, terlihat aksi solidaritas di depan kantor Polrestabes Semarang dengan membawa poster tuntutan seperti “Tangkap Koruptor, Bukan Pejuang HAM”.
Para pengunjuk rasa mengingatkan bahwa hak kebebasan berserikat dan berpendapat dijamin konstitusi — tetapi penangkapan terhadap dua aktivis ini dinilai sebagai criminalisasi terhadap penyampaian pendapat.
Mereka menuntut agar kepolisian menjelaskan dasar hukum penangkapan dan segera membebaskan Munif dan Pramandira jika tuduhan tidak jelas atau bermasalah secara prosedural.
Kasus ini menjadi sorotan penting dalam diskusi nasional soal bagaimana UU ITE digunakan dalam konteks demonstrasi dan advokasi sosial.
Banyak pihak menduga bahwa penyebaran tuduhan “hasutan” melalui media sosial bisa dipakai sebagai alat untuk membungkam kritik dan gerakan protes — terutama bagi aktivis lingkungan dan HAM.
Selain itu, jika kasus serupa berulang di masa depan, hal ini dapat menciptakan efek menakut-nakuti (chilling effect): individu atau organisasi mungkin enggan menyuarakan kritik terhadap kebijakan atau isu lingkungan demi menghindari risiko pidana.
Situasi ini dapat mempersempit ruang kebebasan sipil dan demokrasi di tingkat lokal maupun nasional.
Penangkapan dua aktivis di Semarang — dengan tuduhan berdasarkan UU ITE dan KUHP atas dugaan penyebaran konten hasutan — menimbulkan banyak pertanyaan tentang prosedur hukum, kebebasan berekspresi, dan hak berkumpul di Indonesia.
Sementara pihak kepolisian berargumen bahwa tindakan mereka bagian dari penegakan hukum, tim hukum dan berbagai organisasi masyarakat sipil menilai ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis.
Ke depan, publik dan lembaga HAM perlu mengawal proses hukum ini secara transparan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.