Semarang,diswaysolo.id – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sedang mempertimbangkan penerapan enam hari sekolah dalam seminggu, namun ini menuai penolakan dari guru dan siswa.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah menilai wacana tersebut sebagai langkah mundur dalam kebijakan pendidikan.
Siswa pun mengeluhkan bahwa sistem enam hari tetap melelahkan, meski durasi jam sekolah terkurangi.
Sementara itu, Disdikbud Jateng menyatakan bahwa kebijakan ini masih dalam kajian menyeluruh dan belum bersifat final.
Kontroversi Wacana
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jawa Tengah, Syamsudin Isnaini, menyatakan bahwa usulan untuk menambahkan hari sekolah dari lima menjadi enam belum diputuskan secara final.
Menurutnya, rencana tersebut masih dalam tahap kajian, mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan anak.
Dia menjelaskan bahwa saat ini pihaknya telah melibatkan akademisi dan pemerhati pendidikan dalam diskusi untuk mengevaluasi pro dan kontra kebijakan tersebut.
Alasan Pemprov Jateng mengusulkan enam hari sekolah bukan tanpa pertimbangan. Syamsudin menyebut bahwa penerapan sistem lima hari selama sekitar 7–8 tahun terakhir ternyata memiliki kekurangan, terutama di daerah pinggiran.
Di kawasan tersebut, orang tua mungkin masih bekerja pada hari Sabtu, sehingga pengawasan terhadap anak-anak berkurang dan anak-anak cenderung menghabiskan waktu di gadget.
Berencana Kurangi Durasi
Dari sisi jam belajar, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng berencana mengurangi durasi harian agar total jam dalam satu minggu tetap memenuhi minimal standar, yakni 48 jam.
Syamsudin menyatakan bahwa dengan enam hari, jam sekolah bisa singkat. Misalnya hingga pukul 14.30 pada hari Senin sampai Jumat dan hingga pukul 12.00 pada hari Sabtu.
Ia berharap format ini memberi waktu lebih bagi siswa untuk berinteraksi dengan keluarga setelah pulang sekolah, sekaligus meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Namun, usulan ini mendapat tentangan keras dari PGRI Jawa Tengah. Ketua PGRI Muhdi menyebut, wacana enam hari sekolah sebagai jalan mundur. Sebab, kebijakan lima hari sebelumnya berubah dengan alasan rasional, terutama agar anak memiliki waktu untuk bersama keluarga.
Muhdi menekankan bahwa pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru. Orang tua juga harus terlibat dalam proses pembelajaran anak.
Selain itu, bagi guru, beban kerja akan meningkat jika harus hadir mengajar pada hari Sabtu. Terutama bagi mereka yang berdomisili jauh dari sekolah.
Siswa pun menolak wacana ini. Alasannya bahwa perbedaan antara sistem lima dan enam hari sekolah tidak signifikan untuk meringankan beban.
Salah satu siswa SMAN 11 Semarang, Albani Telanai, mengatakan bahwa meskipun enam hari dapat mengurangi durasi belajarnya per hari, pengorbanannya adalah waktu istirahat yang berkurang.
Menurut Albani, perubahan kebijakan yang sering terjadi justru mengganggu stabilitas siswa, karena mereka lebih khawatir tentang jadwal daripada kualitas pembelajaran.
Fokus Peningkatan Kualitas Guru
Ia juga mengajak pemerintah untuk lebih fokus pada peningkatan kualitas guru dan kesejahteraan tenaga pendidik, bukan hanya pada jumlah hari sekolah.
Wacana enam hari sekolah di Jawa Tengah membuka perdebatan mendalam antara pemerintah daerah, guru, dan siswa.
Meskipun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng berargumen bahwa kebijakan ini bisa memperbaiki pengawasan anak dan mengoptimalkan interaksi keluarga, penolakan dari PGRI dan siswa menunjukkan bahwa beban kerja, waktu istirahat, serta kualitas pendidikan menjadi perhatian serius.
Pemprov Jateng harus melanjutkan kajian dengan transparansi dan melibatkan semua pihak secara aktif agar kebijakan nanti benar-benar berpihak pada kepentingan pendidikan jangka panjang.
Hingga saat ini, rencana tersebut belum diambil keputusan akhir, dan masukan dari publik masih sangat dibutuhkan.






