Yang ketiga adalah implementasi yang tumpul. Saat implementasi di lapangan berantakan—seperti makanan yang tidak bergizi, guru yang tidak kompeten, atau fasilitas yang seadanya persepsi negatif itu seakan terbukti. Satu dua kegagalan implementasi dijadikan bukti untuk menggeneralisasi bahwa seluruh
program itu gagal.
Lalu, Apa Solusinya?
Niat mulia saja tidak cukup. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah strategis untuk membalikkan persepsi ini dengan melakukan pergeseran dari sosialisasi ke komunikasi partisipatif.
Dengan selalu mengajak para akademisi (dunia kampus), tokoh masyarakat, orang tua, dan organisasi akar rumput dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga pengawasan, Jadikan mereka mitra, bukan sekadar objek.
Perlunya transparansi yang nyata dan terukur dengan menginformasikan secara terbuka dari spek makanan, anggaran, kurikulum, dan kriteria guru serta menggunakan platform digital yang mudah diakses untuk mempertanggungjawabkan setiap rupiah dan kebijakan.
Buktikan bahwa ini bukan proyek tapi pelayanan. Serta yang terakhir adalah membangun narasi positif lewat kisah nyata.
Daripada jargon-jargon, publikasikan kesaksian siswa yang terbantu dengan MBG atau kesuksesan lulusan Sekolah Rakyat. Cerita sukses adalah alat komunikasi yang paling ampuh.
Program MBG dan Sekolah Rakyat adalah kebijakan yang tepat untuk sekarang ini. Namun, keberhasilannya tidak hanya diukur pada dokumen perencanaan yang rapi, melainkan pada sejauh mana kebijakan itu dipahami, diterima, dan didukung oleh masyarakat.
Saatnya pemerintah turun dari menara gading dan membangun jembatan kepercayaan. Karena hanya dengan cara itu, niat mulia tidak lagi terjebak dalam salah paham, tetapi bisa terwujud menjadi kemajuan yang nyata dan dirasakan oleh mereka yang paling membutuhkan.






