Hal ini akan melahirkan beban sosial dan psikologis baru. Berbeda dengan di bawah kementerian lain, yang karakteristiknya jelas. Sehingga hal ini bisa menimbulkan segregasi di masyarakat.
Di Mana Salah Paham Itu Bermuara?
Pertama, pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bukannya dilihat sebagai investasi kesehatan dan kecerdasan anak, program ini justru dipersepsikan sebagai proyek mercusuar yang menghamburkan uang rakyat. Masyarakat bertanya, Kenapa tidak langsung beri uang saja kepada orang tua?
Persepsi ini muncul akibat sejarah panjang program bantuan sosial yang kerap tidak tepat sasaran dan bermasalah secara kualitas. Isu tentang potongan dana, kualitas makanan yang rendah, atau menu yang tidak sesuai selera anak menjadi bahan gunjingan yang lebih kencang dari pada manfaat gizi yang ingin dicapai.
Di awal program ini memerlukan pendanaan 71 triliun rupiah dinilai berpotensi memangkas anggaran dari sektor-sektor lain. Kondisi ini mengkhawatir banyak pihak karena disinyalir secara pembiayaan akan terus membengkak, dan beberapa sektor penting akan terdampak akibat pemangkasan anggaran, seperti sektor pendidikan dan kesehatan.
Kedua, pada program Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat juga bisa membentuk segregasi sosial. Selain istilah yang juga berbeda dengan umumnya, konsep yang direncanakan juga berbeda sekaligus berdampak sosial.
Dalam konsep berasrama, berasal dari kalangan masyarakat bawah serta sekolah yang terpisah dari sekolah pada umumnya, Sekolah Rakyat bisa menimbulkan klaster dan segregrasi siswa yang akan melahirkan alienasi tersendiri khususnya bagi siswa.
Hal ini semakin menjauhkan kehidupan mereka dari masyarakat. sehingga melahirkan perbedaan dan pemisahan kehidupan yang dijalani.
Konsep Sekolah Rakyat ingin mendekatkan pendidikan pada masyarakat miskin dan putus sekolah, justru dikerdilkan menjadi sekadar sekolah kelas dua.
Stigma bahwa lulusannya tidak akan diakui atau kualitas pendidikannya di bawah standar melekat kuat. Masyarakat lebih memilih anaknya tidak sekolah sama sekali daripada hanya bersekolah di Sekolah Rakyat, karena khawatir akan mendapat cap negatif.
Program yang seharusnya inklusif justru dikucilkan oleh persepsi yang timpang. Stigma Sekolah masyarakat miskin sangat mungkin terbentuk dalam benak masyarakat.
Perlunya untuk menggunakan istilah lain yang lebih substanstif dan inklusif sehingga tidak menimbulkan tafsir yang bias. Apalagi disandingkan dengan rencana pemerintah untuk mendirikan Sekolah Garuda yang sifatnya unggulan.
Hal ini seakan menunjukkan antithesis satu sama lain. Satu sekolah dengan predikat kurang mampu dan satu lagi sekolah yang dianggap unggul dan berprestasi.
Mengurai Benang Kusut Persepsi
Untuk mengurai benang khusut persepsi akar dari semua salah paham ini, penulis mecoba mengurai pada pada tiga hal utama yaitu pada komunikasi, kepercayaan, dan implementasi.
Yang pertama adalah komunikasi yang setengah hati. Sosialisasi kebijakan seringkali hanya berupa pengumuman formal, bukan dialog. Masyarakat tidak diajak memahami mengapa kebijakan ini lahir, apa manfaat jangka panjangnya, dan bagaimana mekanisme pengawasannya.
Mereka hanya diberi tahu apa yang harus diterima. Akibatnya, ruang kosong dalam informasi itu diisi oleh prasangka dan informasi yang salah.
Yang kedua adalah defisit kepercayaan (Trust Deficit). Pengalaman buruk dengan program-program sejenis di masa lalu meninggalkan luka. Masyarakat sudah lelah dengan janji-janji manis yang berakhir pada praktik yang korup. Mereka memandang setiap kebijakan baru dengan kacamata kecurigaan, mengira ada udang di balik batu.






