Dalam pelaksanaannya, bahan makan yang diolah juga menggunakan sumber pangan lokal. Namun, di tingkat akar rumput, niat mulia ini seringkali tidak serta-merta diterima dengan tangan terbuka.
Alih-alih dielu-elukan, kedua program ini justru terjebak dalam labirin salah paham dan persepsi negatif yang mengancam efektivitasnya. Bukannya membangun optimisme, yang muncul justru sikap skeptis dan penolakan halus.
Banyak kalangan yang meragukan adanya progam ini mulai dari keraguan akan nilai gizi nya karena terdapat berita mengenai bahan-bahan yang digunakan oleh dapur MBG bahkan hingga berita keracunan akibatnya MBG membuat orang tua siswa dan siswa semakin takut.
Baca juga: UPS Semakin Berjaya, Prof Dr Taufiqulloh MHum Terpilih Kembali Sebagai Rektor
Namun tak sedikit juga siswa-siswa dan orang tua yang senang dengan adanya progam tersebut. Mereka menilai bahwa program ini mampu membantu meringankan beban keluarga,meningkatkan konsentrasi belajar anak karena kebutuhan gizinya tercukupi.
Pada akhirnya, progam MBG ini akan tetap menjadi bahan perdebatan panjang. Pro dan kontra akan selalu ada, tergantung dari sudut pandang masyarakat yang merasakan dampaknya secara langsung.
Yang jelas, keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada niat baik pemerintah, tetapi juga pada pengawasan, kualitas pelaksanaan, serta komitmen untuk terus memperbaiki kekurangan yang ada.
Pro dan kontra juga muncul adanya kebijakan sekolah rakyat. Sekolah Rakyat dibentuk dengan dasar hukum Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 49/HUK/2025 tentang Tim Formatur Penyelenggaraan Sekolah Rakyat.
Membangun sekolah rakyat tentu akan menelan anggaran besar, terutama untuk pembangunan gedung, penyediaan infrastruktur, dan kebutuhan tenaga pengajar.
Kajian terkait besaran anggaran yang dibutuhkan dalam kebijakan ini perlu dilakukan karena pembiayaan sebuah program besar menjadi isu krusial yang tidak bisa disepelekan karena menyangkut beban APBN dimana 20 persen alokasi pendidikan belum optimal sehingga nantinya akan menimbulkan permasalahan baru dalam jangka panjang.
Dengan masih adanya berbagai permasalahan Pendidikan ditanah air ini mulai dari kurangnya anggaran, keterbatasan infrastruktur, rendahnya kualitas tenaga pendidik, dan lebarnya kesenjangan akses antara daerah pedesaan dan perkotaan dan sebagainya.
Di tambah lagi dengan maraknya praktik korupsi pada sektor pendidikan dimana kasus korupsi berdasarkan berbagai sector di Indonesia, ICW menyebutkan bahwa korupsi pada sektor pendidikan masuk dalam lima besar di Indonesia di tahun 2016 sampai tahun 2021.
ICW mencatat sebanyak 240 kasus korupsi dan 86 persen pelakunya justru lulusan perguruan tinggi, bahkan sebagian besar bergelar master.
Sekolah Rakyat yang di bawah naungan Kementerian Sosial ini akan menimbulkan masalah baru dalam ruang lingkup pendidikan. Penggunaan 20% dana APBN untuk pendidikan menyisakan polemik dan kebijakan ini disinyalir tidak efektif karena tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga.
Baca juga: Borong Piala Tingkat Daerah Sampai Nasional, UPS Beri Penghargaan Mahasiswa Berprestasi
Anggaran dari 20% ke Kementerian Sosial semakin besar serta struktur kelembagaan dunia pendidikan tidak fokus. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sekolah dibawah Kementerian Sosial didasarkan pada kondisi ekonomi semata.






