Klaten,diswaysolo.id – Di sebuah kompleks makam di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Klaten, ribuan kelelawar telah menetap sejak dulu di atap dan ruang antara plafon dari Makam Ronggowarsito.
Meski telah ada berbagai upaya pengusiran dan pencegahan, para penghuni malam itu tetap tak tergerus.
Keberadaan koloni kelelawar ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola makam dalam menjaga kebersihan dan keutuhan bangunan.
Artikel ini mengeksplorasi asal-usul fenomena, dampak yang timbul, hingga upaya pemugaran.
Makam Ronggowarsito
Kompleks Makam Ronggowarsito di Klaten dikenal sebagai situs bersejarah dengan arsitektur bergaya joglo dari abad ke-18, berukuran sekitar 25×10 meter dan beratap genting tanah liat.
Di bagian atas cungkup makam tersebut, ruang antara atap genting dan plafon telah lama dihuni oleh koloni kelelawar yang jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan bahkan ratusan ribu ekor.
Saat wartawan menyambangi lokasi, mereka mencium aroma khas kotoran kelelawar hingga melihat noda-noda bekas lelehan pada tembok akibat air hujan yang mencampur dengan kotoran hewan nokturnal tersebut.
Pendamping juru kunci, yang telah menunggu sejak kecil di sana, menyebut bahwa koloni ini sudah ada “sejak dulu”.
Pengelola makam menangani masalah ini bukan tanpa upaya. Ada beberapa metode mengusir kelelawar, mulai dari pemasangan lampu 400 watt di setiap sudut, sirine yang terus menerus berbunyi, hingga pembakaran karbit (belerang) dan pemasangan ragi—namun hasilnya nihil.
Menurut penuturan juru kunci dan pengelola, kelelawar tetap betah dan tak menunjukkan tanda-tanda pergi secara permanen.
Situasi ini menimbulkan dilema: antara mempertahankan nilai sejarah dan kenyamanan pengunjung, dengan kondisi kebersihan serta kerusakan struktural yang terus berlangsung.
Dampak dari keberadaan koloni kelelawar tersebut nyata terlihat. Kotoran dan urin kelelawar telah merusak konstruksi atap, besi, kayu serta plafon cungkup makam.
Perlu ada Solusi
Pengelola menyebut bahwa setelah pembersihan lantai, dalam hitungan menit atau detik, lantai kembali kotor karena tetesan dari atas.
Selain itu, bau menyengat dan suara-cicit koloni kelelawar menciptakan suasana yang kurang nyaman bagi ziarah maupun pengunjung umum.
Situasi ini akhirnya memberi tekanan untuk melakukan pemugaran secara mendesak.Sebagai respons, pihak Kementerian Kebudayaan tengah memprogramkan pemugaran di kompleks makam tersebut.
Salah satu langkah teknis ialah pemasangan plafon cor di bagian atas agar kotoran kelelawar tidak jatuh ke lantai dan mengganggu aktivitas di bawah.
Lebih lanjut, rencana pembangunan langgar kembaran yang terinspirasi dari pesantren di Tegalsari, Ponorogo, tempat sang pujangga belajar juga untuk memperkuat fungsi dan nilai situs sejarah ini.
Namun demikian, keberadaan kelelawar dalam jumlah besar pada makam bersejarah seperti ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut: apakah kita tetap harus memprioritaskan konservasi bangunan tanpa memperhitungkan faktor ekologis dan kesehatan?
Di satu sisi, ada anggapan kelelawar sebagai bagian dari ekosistem setempat. Namun di sisi lain, kondisi kotoran dan kerusakan fisik menuntut penanganan yang holistik.
Pengelola makam dan pemangku kepentingan perlu merumuskan solusi yang menghormati aspek sejarah, penghormatan terhadap pujangga lokal, sekaligus memperhatikan kenyamanan ziarah dan keamanan struktural.
Fenomena ribuan kelelawar yang menetap di Makam Ronggowarsito menampilkan lapisan kompleks antara warisan budaya, tantangan ekologis, dan pemugaran fisik.
Meskipun berbagai metode pengusiran telah berjalan, koloni ini tetap bertahan, menandakan bahwa solusi konvensional tidak cukup.
Pemugaran oleh pihak terkait harus mempertimbangkan baik aspek sejarah maupun kenyamanan pengunjung.
Di masa depan, bukan hanya “mengusir” kelelawar yang penting, melainkan mencari keseimbangan antara pemeliharaan bangunan, kelangsungan ekosistem, dan fungsi sosial dari situs bersejarah tersebut.






