Klaten,diswaysolo.id – Di tengah gemuruh kuliner warung biasa, ada satu tempat yang tetap eksis meski buka sangat terbatas:
Soto Mbah Gito Birun di Desa Tangkilan, Jatinom, Klaten. Warung ini hanya beroperasi lima hari sekali, yaitu saat pasaran Legi menurut kalender Jawa, namun setiap kali dibuka, pengunjungnya selalu membludak.
Keunikan ini memicu rasa penasaran banyak orang: bagaimana sebuah usaha kuliner bisa bertahan dan bahkan masyhur meski hanya buka sesekali?
Artikel berikut akan membahas sejarah, cita rasa khas, strategi operasional, serta daya tarik yang membuat soto ini tetap dicintai banyak orang.
Warung Soto Legendaris
Warung Soto Mbah Gito Birun berdiri sejak era 1960-an dan telah diwariskan selama tiga generasi keluarga.
Warungnya tidak berada di pinggir jalan utama melainkan di lingkungan kampung — tepat di seberang kantor kalurahan atau di belakang kantor kecamatan Jatinom.
Karena itu, bagi pertama kali yang ingin mencari warung ini harus mengenali ciri khas suasana: antrian pengunjung, wangi kuah soto, dan bangunan bergaya tradisional tanpa papan nama mencolok.
Bangunan warung mencerminkan nuansa Jawa klasik: struktur joglo kayu, delapan tiang penyangga di bagian dalam, meja kursi kayu panjang, dan lampu gantung sederhana.
Keaslian suasana ini turut memperkuat identitas soto khas Mbah Gito dan jadi bagian dari pengalaman kuliner bagi pengunjung.
Menu utama di warung ini adalah soto daging sapi dengan berbagai pilihan: daging &, babat, iso, lidah, hingga sandung lamur.
Untuk mereka yang menginginkan varian ayam jika daging sapi sedang terbatas pun kadang tersedia.
Harga soto ayam sekitar Rp 13.000, sedangkan soto sapi, babat, iso menetap di harga Rp 15.000, dan lidah di Rp 18.000.
Ciri khas penting dari soto ini adalah kuahnya menggunakan kayu bakar, bukan kompor gas, serta memakai kecap buatan sendiri dan tulang bagian dengkul sapi sebagai dasar kaldu.
Karena itu, rasa soto terasa kaya rempah dan aroma panggangan kayu ikut memberi karakter tersendiri. Penyajiannya pun unik: alih‑alih mangkuk, soto ada sajian dalam piring keramik.
Ada Makanan Pendamping
Selain soto, pengunjung bisa menambahkan lauk pendamping seperti tempe goreng, lentho (parutan singkong dan kedelai goreng), tahu, bakwan, dan kerupuk.
Meskipun warung ini sangat banyak penyukanya, pemilik memilih untuk tidak buka setiap hari. Warung hanya beroperasi antara pukul 04.00 hingga 12.00 WIB pada hari pasaran Legi.
Di luar hari tersebut, keluarga pengelola fokus menjalankan usaha produksi kecap, yang menjadi pekerjaan harian mereka.
Proses memasak soto Mbah Gito memakan waktu cukup lama, bahan harus siap dan berkualitas. Bila beroperasi setiap hari, tenaga dan bahan dapat terkuras.
Itulah sebabnya mereka mempertahankan tradisi buka terbatas sebagai strategi menjaga kualitas dan keberlanjutan usaha.
Hal yang menarik adalah pelanggan dari luar wilayah Klaten pun rela datang jauh-jauh hanya untuk mencicipi soto ini — dari Solo, Yogyakarta, hingga Semarang.
Menurut pelanggan asal Polanharjo bernama Agus (55), keunikan warung buka lima hari sekali justru menambah daya tarik dan menciptakan rasa “kangen” terhadap rasa soto yang khas.
Warung ini tidak bergantung pada papan reklame atau iklan; reputasinya tumbuh secara organik dari mulut ke mulut.
Aroma kuah soto, antrean mengular hingga lesehan sampai tepi jalan, dan suasana tradisional menjadi petunjuk keberadaannya.
Warung Soto Mbah Gito Birun adalah contoh bahwa konsistensi rasa, keaslian proses, dan identitas tradisional mampu memenangkan hati pelanggan meskipun buka sangat terbatas.
Pilihan operasional hanya membuka saat pasaran Legi mengandung strategi menjaga kualitas dan meneruskan warisan kuliner keluarga.
Bagi pecinta kuliner, datang ke sana bukan sekadar makan soto — melainkan merasakan tradisi dan kisah di balik semangkuk kuah bening dengan citarasa khas.
Semoga kisah ini memberi inspirasi bahwa dalam keterbatasan pun bisa tumbuh keistimewaan.






