Surakarta,diswaysolo.id – Sejumlah orang tua murid di SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo, memilih menolak kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang direncanakan akan diterapkan di sekolah.
Mereka lebih memilih membayar Rp 10.000 per siswa agar anaknya mendapat menu dapur sehat yang disajikan oleh sekolah sendiri.
Keputusan itu muncul karena mereka merasa menu saat ini sudah sehat, higienis, dan terpercaya.
Artikel ini akan menjelaskan seperti apa penyajian menu, alasan penolakan MBG, serta dampaknya terhadap kebijakan sekolah dan orang tua.
Tolak MBG
Pada pagi hari, para juru masak sekolah mulai menyiapkan bahan. Mereka menggoreng galantin, memasak sayur sop, dan mempersiapkan nasi putih serta pisang sebagai buah penutup.
Menjelang tengah hari, makanan matang dan langsung tertata dan membagi ke siswa.
Para murid antre dengan piring masing-masing, mengambil nasi, lauk, dan buah secara prasmanan. Sayurnya disajikan oleh guru atau wali kelas.
Kepala sekolah, Sri Sayekti, menyatakan bahwa kantin sehat telah berjalan lama dan menjadi bagian integral dari proses pembelajaran.
Ia menegaskan bahwa jika menerapkan MBG, operasional dapur sekolah bisa berhenti dan tenaga dapur akan kehilangan pekerjaan.
Seorang wali murid, Devi Ari Ningsih, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kualitas MBG yang beritanya pernah menyebabkan keracunan makanan di daerah lain.
Ia menilai lebih aman kalau anaknya memperoleh makanan dari dapur sehat sekolah yang memasak secara langsung dan penyajiannya masih segar.
Sekolah Bayar Bulanan
Wali murid lain, Cici, juga menyebut bahwa banyak kasus negatif terkait MBG membuat kita tidak bisa gegabah. Ia rela keluarkan uang tambahan untuk memastikan anaknya memperoleh makanan yang lebih aman.
Sekolah telah merencanakan menu bulanan secara matang dan juga sudah memperoleh sertifikasi halal dari MUI dan BPOM agar kualitas makanan terjamin.
Namun, jika resmi menerapkan kebijakan MBG, pihak sekolah harus menentukan apakah mereka akan menjadi penyedia sendiri (SPPG) atau menyerahkan pengelolaan ke pihak eksternal.
Sekolah juga perlu mempertimbangkan nasib tenaga dapur yang sudah lama bertugas. Selain itu, sekolah masih berdiskusi dengan Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) untuk mengambil keputusan bentuk pengelolaan dapur agar tetap dapat beroperasi tanpa menimbulkan konflik kebijakan.
Keputusan orang tua untuk menolak MBG dan tetap memilih membayar Rp 10.000 demi menu dapur sehat sekolah mencerminkan keinginan mereka agar anak-anak mendapat makanan yang berkualitas, higienis, dan aman.
Keputusan ini juga memaksa pihak sekolah untuk menimbang kembali kebijakan MBG agar tidak mengganggu layanan dapur internal dan tenaga yang telah bekerja lama.
Ke depan, sinergi antara kebijakan pemerintah, sekolah, dan aspirasi orang tua harus menempuh agar program pemberian makan sekolah bisa layak, aman, dan semua pihak menerima.






