Klaten  

Langkah Tegas Pemerintah Daerah untuk Menegakkan Toleransi

Klaten,diswaysolo.id – Pemerintah Kabupaten Klaten mengambil tindakan tegas terhadap Kepala Sekolah dan guru pembimbing di SMP Negeri 2 menyusul insiden siswi kelas IX yang tidak diperbolehkan ikut tim aubade karena tidak mengenakan hijab.

Keputusan mutasi kedua tenaga pendidik ini muncul setelah adanya asesmen dari Dinas Pendidikan dan Bagian Kepegawaian Daerah (BKD) Klaten.

Bupati Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo, menyatakan bahwa kebijakan tersebut bertujuan bukan hanya sebagai hukuman, tetapi juga untuk memperjelas bahwa sekolah harus menjaga toleransi antar siswa dari berbagai latar belakang agama.

Pihak sekolah telah diminta meminta maaf kepada keluarga siswa dan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Toleransi di Sekolah

Setelah analis dari dinas terkait dilakukan, Kepala SMPN 2 dan guru pembimbing aubade dimutasi. Kepala sekolah dibebastugaskan dari jabatannya dan dipindahkan ke sekolah lain.

Sementara guru pembimbing aubade dipindahkan dari tugas pengajar ke posisi administrasi sekolah.

Langkah ini diambil sebagai respons atas kegagalan sistem seleksi dalam menghormati keragaman siswa.

Bupati menyebut bahwa proses asesmen melibatkan dua instansi, yakni Dinas Pendidikan dan BKD.

Penilaian itu bertujuan melihat sejauh mana prosedur seleksi, komunikasi, dan aspek toleransi dijalankan dengan benar.

Dalam pertemuan resmi yang difasilitasi Pemkab Klaten, sekolah dan orang tua siswa yang terdampak bertemu di hadapan forum FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), Parisada Hindu Klaten, Kantor Kementerian Agama, serta Kepala Dinas Pendidikan.

Di dalam forum tersebut, pihak sekolah mengucapkan permohonan maaf kepada orang tua siswi, pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan masyarakat luas.

Kasus ini bermula dari viralnya cerita di media sosial bahwa siswi non‑Muslim tidak diperbolehkan ikut tampil di aubade karena tidak memakai hijab.

Baca Juga:  Berburu Kopi di Klaten, Rekomendasinya Ada Apa Saja Nih?

Keluarga menyampaikan bahwa anaknya ditawari pilihan: menjadi official dengan tetap ikut tampil atau kembali ke kelas, atas dasar “keseragaman”.

Siswi memilih kembali ke kelas karena merasa lebih baik daripada tampil meskipun dengan modifikasi posisi. Setelah kejadian itu, siswi dilaporkan tidak masuk sekolah karena mengalami trauma.

Kepala sekolah, Tonang Juniarta, membantah adanya aturan tak tertulis yang mewajibkan hijab sebagai syarat.

Ia menjelaskan bahwa siswi tersebut sebenarnya sudah tereliminasi sejak tahap pertama seleksi, sebelum ada tawaran jadi official.

Menurutnya, kesalahpahaman dan ekspektasi tinggi dari berbagai pihak yang membuat situasi jadi lebih kompleks.

Bupati Hamenang menyatakan harapan agar masalah seperti ini tidak muncul lagi. Ia mengajak semua pihak di sekolah agar lebih transparan dalam prosedur seleksi, memperjelas komunikasi, dan menjaga keadilan dan toleransi antar siswa.

Pemerintah daerah akan terus memantau pelaksanaan kebijakan di lapangan agar kerukunan tetap terjaga