Klaten  

Ketekunan dan Kesederhanaan Mbah Sutris, Tukang Cukur 82 Tahun dari Klaten

Klaten,diswaysolo.id – Di sebuah dusun di Kecamatan Bayat, Klaten, hidup seorang pria lanjut usia yang tetap setia pada profesinya sebagai tukang cukur.

Namanya Tukimin Trisno Suwarno, akrab dipanggil Mbah Sutris. Di usianya yang sudah 82 tahun, ia masih rutin mencukur rambut pelanggan.

Salah satu kebiasaannya yang unik adalah mencatat setiap nama pelanggan dalam buku kecil.

Lebih menarik lagi, meskipun usianya tidak muda lagi, Mbah Sutris mempertahankan tarif cukur yang sangat terjangkau — hanya Rp 5.000 sekali cukur.

Mbah Sutris 

Mbah Sutris belajar memotong rambut secara otodidak sejak masa mudanya. Ia sempat bekerja di juragan karak, sebuah usaha kerupuk, di Dusun Balong, Bayat, sebagai tukang cukur kecil‑kecilan untuk para pekerja.

Dari situlah ia mulai belajar menggunakan alat cukur, merawat kehalusan gerakan tangan, hingga mahir.

Ia mulai mencukur sejak tahun 1959, dan meskipun alat lamanya sudah rusak dan harus disimpan sebagai kenangan, sekarang ia membeli alat sendiri agar bisa tetap melayani.

Setiap hari Mbah Sutris melayani rata‑rata tujuh pelanggan. Namun, saat menjelang Lebaran, jumlah pelanggannya meningkat tajam.

Untuk mengenali dan menjaga hubungan dengan pelanggannya, ia mencatat nama, tanggal, dan asal daerah pelanggan di sebuah buku.

Nama‑nama yang tercatat berasal dari berbagai daerah—tidak hanya sekitar Bayat, tapi bahkan dari Gunungkidul.

Lokasi mangkalnya berubah‑ubah: di Lapangan Lemah Miring pada hari‑hari tertentu, ada hari yang ia layani di Balong, di rumahnya, atau melalui panggilan.

Rumahnya sederhana, berdinding belum plester semen, jendela dan pintu kayu tua, dengan banner jasa pangkas rambut yang bertuliskan tarif Rp 5.000.

Di teras rumah ada kursi kayu dan cermin kotak untuk pelanggan, meskipun tidak dilengkapi pendingin ruangan, udara di rumahnya tetap segar karena berada di berada di daerah perbukitan, alami.

Baca Juga:  Mari Jelajahi Tempat Wisata Sekitar Stasiun Klaten 2025

Harga Rp 5.000 yang ia tetapkan sejak sepuluh tahun lalu bukan karena tidak mampu menaikkan, melainkan karena ia mengukur menurut kemampuannya sendiri.

Ia takut jika menaikkan harga, pelanggan setianya tak sudi lagi datang. Beberapa orang sempat menyarankan supaya ia menaikkan harga, tapi ia menolak, dan jika ada pelanggan yang memberikan lebih, ia selalu mengembalikan kelebihannya.

Hidupnya Sederhana

Hidup Mbah Sutris sehari‑hari ia jalani sederhana: makan seadanya, bahkan “daun ketela” jika perlu, tidak menginginkan gaya rambut yang aneh‑aneh karena kondisinya sudah tua.

Namun, dengan segala keterbatasan, ia tetap aktif bekerja dan dicatat namanya sebagai tukang cukur yang berintegritas.

Komunitas sekitar melihat Mbah Sutris sebagai sosok teladan. Kepala dusun menuturkan bahwa sejak dulu beliau dikenal sebagai tukang cukur yang konsisten, sabar, dan ramah terhadap semua orang.

Banyak pelanggan yang datang tidak hanya karena murah, tapi juga karena pengalaman dan pelayanan yang bersahabat.

Mbah Sutris adalah contoh nyata bahwa ketekunan, kesederhanaan, dan dedikasi bisa melewati batas usia.

Mencatat nama pelanggan bukan hanya soal bisnis semata bagi beliau, tapi tentang hubungan antar manusia, tentang rasa saling mengenal.

Tarif yang tetap murah selama bertahun‑tahun bukan hanya tanda kejujuran, tetapi penghargaan terhadap pelanggan dan komunitasnya.

Kisahnya mengajarkan bahwa dalam kesederhanaan sering terkandung nilai yang luar biasa.