TEGAL, diswaysolo.id – Gelombang protes di berbagai daerah yang terjadi saat ini bukan hanya soal kebijakan, tapi juga tentang bagaimana wakil rakyat bicara. Di tengah isu kenaikan gaji dan tunjangan DPR, publik dibuat geram oleh pernyataan dan aksi sejumlah anggota dewan yang dianggap tidak pantas. Ketika Lidah Tak Terkendali.
Dari komentar kasar hingga joget-joget di media sosial, rangkaian kata mereka justru menjadi bahan bakar baru bagi kemarahan rakyat.
Mari kita ingat pernyataan Ahmad Sahroni. Ia menyebut orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “mental manusia tertolol sedunia. ” Kata “tolol” jelas bukan sekadar ungkapan spontan. Dalam kacamata publik, ucapan ini menunjukkan arogansi sekaligus merendahkan kritik masyarakat.
Bukannya meredam amarah, kalimat itu justru mempertebal alasan mengapa rakyat merasa DPR makin jauh dari aspirasi mereka.
Ketika Lidah Tak Terkendali, Rakyat Kehilangan Hati
Kasus berikutnya datang dari Uya Kuya. Dengan gaya selebriti yang masih kental, ia membuat video berjoget sambil menuliskan caption, “jogetin aja. dikira gaji 3jt perhari gede.” Gaya ini mungkin diniatkan santai, bahkan humoris.
Namun dalam realitas sosial, masyarakat sedang bergelut dengan mahalnya harga kebutuhan pokok dan pendapatan minim. Akibatnya, joget yang dimaksud untuk mencairkan suasana justru dipersepsikan sebagai bentuk meremehkan penderitaan rakyat.
Hal serupa juga dilakukan Eko Patrio. Ia membandingkan gaji DPR dengan penghasilannya ketika masih jadi artis: “3jt sehari aja di permasalahin.
Dulu gw ngartis 84jt sehari.” Membawa kisah pribadi memang bisa membuat pesan lebih hidup. Sayangnya, perbandingan semacam ini terasa timpang.
Tidak semua orang punya privilese menjadi artis dengan honor fantastis. Yang muncul di benak publik justru kesan DPR hidup di “dunia lain” yang tak sebanding dengan kenyataan rakyat kebanyakan.
Sedikit berbeda, Nafa Urbach mencoba menjelaskan lebih rasional lewat live media sosial. Ia menekankan bahwa tunjangan rumah bukanlah kenaikan gaji, melainkan kompensasi setelah rumah jabatan dikembalikan ke pemerintah.
Ia menambahkan alasan bahwa banyak anggota DPR berasal dari luar Jakarta dan harus mengontrak rumah dekat Senayan. Secara konteks, penjelasan ini terkesan masuk akal.






