Surakarta,diswaysolo.id –Pendidikan tidak sekadar transfer ilmu, tetapi transformasi — sebuah pandangan terbukti penting dalam era modern.
Dr. Dian Artha Kusumaningtyas menegaskan bahwa profesionalisme guru harus tumbuh lewat praktik reflektif yang mendalam.
Guru perlu menjadi pembelajar transformatif yang terus berkembang, bukan hanya sebagai pengajar di depan kelas, tapi sebagai agen perubahan yang terbuka terhadap tantangan zaman.
Guru yang profesional harus menjalankan peran sosialnya secara kritis dan inovatif. Untuk itu, keterlibatan dalam penulisan ilmiah dan pengembangan diri secara berkelanjutan menjadi kunci agar transformasi itu nyata.
Profesionalisme Guru
Guru bukan hanya pengajar—mereka adalah pendidik profesional yang memegang peran mendalam terhadap perkembangan karakter dan intelektual siswa.
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005, guru memiliki tugas utamanya dalam mendidik, mengajar, membimbing, menilai, dan mengevaluasi peserta didik secara profesional.
Namun, data menunjukkan bahwa masih banyak guru yang belum mencapai kualifikasi minimal: hampir 50% dari sekitar 3 juta guru di Indonesia belum memiliki sertifikat pendidik.
Selain itu, hasil UKG memperlihatkan bahwa kurang dari 30% guru berhasil lulus dengan nilai minimal 80—menandakan masih adanya kekurangan kompetensi.
Menurut Suharno dan Fitriana (Jurnal Majalah Lontar), profesionalisme guru mencakup empat kompetensi utama: personal, profesional, sosial, dan pedagogik. Semuanya harus selaras untuk mencapai kualitas pendidikan yang unggul.
Keprofesionalan guru tak semata terukur dari sertifikasi, tetapi juga bagaimana mereka menerapkan kompetensi itu dalam kelas: menciptakan pembelajaran yang relevan, berorientasi mutu, serta mendukung tumbuhnya kepribadian dan moral siswa.
Kurikulum cinta adalah gagasan transformatif untuk menjadikan pendidikan lebih manusiawi—menanamkan nilai kasih sayang, empati, dan toleransi sejak dini.
Buku “Kurikulum Cinta: Menanamkan Nilai Kasih, Toleransi, dan Harmoni dalam Pendidikan Sejak Dini” menyajikan kerangka inklusif yang menghubungkan nilai-nilai luhur dengan praktik di sekolah dan keluarga, menjadi pegangan inspiratif bagi pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.
Dukungan Kementerian Agama
Kementerian Agama juga mendukung pendekatan ini—Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi alat menyebar kebencian.
“Jangan sampai kita mengajarkan agama, tetapi tanpa sadar menanamkan kebencian. Agama harus menjadi inspirasi, bukan beban,” ujarnya. Nilai ini ditegaskan dalam gagasan Kurikulum Cinta yang menumbuhkan penghormatan dan cinta di tengah keberagaman.
Lebih lanjut, Kurikulum Cinta dirancang sebagai fondasi etis dalam pendidikan keagamaan—mengintegrasikan relasi manusia kepada Tuhan, sesama, dan lingkungan dalam jalinan kasih universal.
Ketika guru bersertifikasi dan memiliki kompetensi profesional yang kuat, mereka tidak hanya mengajar tapi juga memberi teladan moral—inisiator pembelajaran yang berempati, kritis, dan kreatif.
Profesionalisme menjamin mereka memiliki kemampuan pedagogik untuk mengaktualisasi nilai cinta ke dalam interaksi sehari-hari di kelas.
Sementara itu, Kurikulum Cinta memberikan kerangka nilai agar pembelajaran bukan sekadar transfer materi, tetapi mencipta ruang hati—kelas yang hangat, inklusif, dan membuat siswa merasa dihargai. Integrasi ini menciptakan keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Bayangkan: guru yang profesional menyampaikan pelajaran matematika bukan hanya dengan metode logis, tetapi dengan pendekatan yang memperhatikan kesejahteraan siswa—mereka peka terhadap kesulitan belajar siswa dan mampu menumbuhkan semangat belajar dengan kasih sayang.
Demikian pula, pelajaran agama menjadi kesempatan untuk membangun toleransi, bukan sekadar hafalan—menumbuhkan penghormatan terhadap perbedaan sebagai kekayaan moral dalam masyarakat.






