Dalam sebulan, Puspa ditargetkan untuk menipu hingga Rp300 juta. Jika hanya mendapatkan separuh, ia hanya menerima 50% dari gaji.
Jika hanya Rp100 juta, ia tidak digaji. Gaji awalnya memang $800 (sekitar Rp12 juta), namun harus dipotong denda, dan Puspa tidak tahu pasti berapa yang ia terima.
Puspa juga harus menerima hukuman jika tidak memenuhi target. “Risiko yang kita hadapi, kita bisa disetrum, atau dilempar dari lantai tiga, dan itu sudah dialami teman saya.
Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kali kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang,” tambahnya.
Jika dianggap tidak berguna, pekerja akan dijual ke perusahaan lain, dan harus membayar denda sebesar Rp15 juta. “Dijual” inilah yang menjadi ketakutan terbesar.
Kesejahteraan Puspa sangat memprihatinkan. Tidak hanya mengenai gaji yang tidak jelas, bahkan untuk makan pun tidak manusiawi.
“Kita diberi makan, tetapi yang harus dimakan itu saren, babi, katak. Dan kita tidak memiliki pilihan lain,” ceritanya.
Puspa berusaha menghubungi KBRI untuk meminta dievakuasi, namun statusnya sebagai PMI ilegal menyulitkannya. Ia ditahan selama satu bulan di imigrasi Kamboja sambil menunggu deportasi.
Baca juga: Inilah Museum Yogyakarta yang Spotnya Instagramable, Cocok untuk Mengisi Liburan Anak
Akhirnya, ia berhasil kembali ke Indonesia. Meskipun sempat tertekan, ia tetap berusaha mencari bantuan. Dari BP3MI, Puspa diarahkan ke Dinas Sosial DIY yang kini menjadi tempat ia bernaung.
“Terima kasih kepada Dinas Sosial. Karena saat ini saya dibantu dalam segala hal, mulai dari mental, kebutuhan hidup, hingga kebutuhan pangan pun saya dibantu sampai saat ini.
Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya,” ucapnya.






