JAKARTA, diswaysolo.id – Salah satu nama yang mencuat adalah Jurist Tan, mantan Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Makarim, yang diduga berperan besar dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek digitalisasi pendidikan ini.
Skandal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi, integritas, dan tata kelola pengadaan barang dalam sektor pendidikan.
Jurist Tan aktif mengatur arah kebijakan dan spesifikasi teknis pengadaan, yang akhirnya merugikan negara hingga hampir Rp10 triliun.
Dalam laporan penyidikan, keterlibatan pihak luar dan campur tangan non-teknis dalam pengambilan keputusan strategis menjadi salah satu titik krusial bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri.
Jurist Tan
Pada 15 Juli 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Jurist Tan (JT), mantan staf khusus Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Nadiem Makarim), sebagai salah satu dari empat tersangka dalam perkara korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp 9,9 triliun.
Empat orang lainnya adalah Ibrahim Arief (IBAM), Sri Wahyuningsih (SW), dan Mulyatsyah (MUL).
Sejak Agustus 2019, JT aktif menyusun kelompok kerja digitalisasi internal Kemendikbudristek lewat grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team” bersama Nadiem.
Pada Desember, ia mewakili Nadiem membahas teknis pengadaan teknologi berbasis Chrome OS bersama Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK).
JT kemudian berperan menjembatani Google dan Kemendikbudristek. Ia mengatur pertemuan Zoom dan kontak dengan Google terkait skema co‑investment 30 % untuk menggunakan Chromebook 2020–2022.
Meski stafsus seharusnya tidak masuk ke perencanaan teknis, JT justru memimpin rapat internal merumuskan spesifikasi agar Chrome OS dipilih.
Kajian awal Pustekkom pada 2019 menyimpulkan Chromebook tidak optimal, terutama di daerah 3T karena ketergantungan konektivitas internet.
Namun, petunjuk teknis ada pengalihan secara artifisial agar hanya Chrome OS yang sesuai. JT bersama tiga tersangka lainnya menyalahgunakan wewenang dengan menyusun juklak pengadaan yang arahnya ke produk tertentu.
Selama proses penyidikan, JT mangkir tiga kali panggilan Kejagung karena sedang mengajar di luar negeri.
Kejagung terus memantau pergerakannya dan mempertimbangkan tindakan melalui kedutaan dan Kemenlu, karena visa JT terbatas.
Sejak 20 Mei 2025, kasus ini resmi naik ke penyidikan. Kejagung telah memeriksa lebih dari 40 saksi, menggeledah apartemen milik JT dan FH pada Mei, serta menyita bukti elektronik dan dokumen.
Panggil mantan Stafsus
Selain JT, penyidik juga memanggil mantan stafsus Fiona Handayani dan Ibrahim Arief. Mereka memeriksa dokumen, kontrak, dan komunikasi untuk mengungkap aliran dana dan mark‑up harga yang menyebabkan kerugian negara hampir Rp 10 triliun.
Penggunaan juklak yang menguntungkan vendor tertentu dan kelemahan Chrome OS di wilayah dengan infrastruktur terbatas membuat proyek tidak mencapai tujuan edukasi.
Dari sisi hukum, JT dan rekan tersangka ada tudingan melanggar Undang‑Undang Tindak Pidana Korupsi: menyalahgunakan wewenang dan menyebabkan kerugian keuangan negara.
Jurist Tan terbukti memainkan peran kunci dari awal desain hingga pelaksanaan pengadaan Chromebook. Ia menyusun perangkat teknis agar menerapkan Chrome OS meskipun ada risiko dan kekurangan.
Meski sedang berada di luar negeri, Kejagung terus mengejar keterangan JT. Kasus ini menunjukkan pentingnya pengawasan transparan dalam tender publik teknologi untuk mencegah korupsi mitologi besar dalam skema digitalisasi pendidikan.
Dengan status tersangka JT dan tiga lainnya, publik kini menanti kelanjutan proses peradilan hingga upaya pemulihan kerugian negara senilai hampir Rp 10 triliun.






