Hal ini membuat keroncong semakin meresap di telinga masyarakat. Setelah meraih kemerdekaan, RRI Surakarta yang berlokasi di bekas gedung SRV melanjutkan warisan tersebut.
Pada tahun 1951, RRI memperkenalkan program Radio Orkes Surakarta (ROS) dan kejuaraan Bintang Radio, di mana keroncong menjadi salah satu genre utama yang diperlombakan.
Kemeriahan musik keroncong mencapai puncaknya dengan berdirinya Lokananta pada tahun 1956. Sebagai pabrik piringan hitam milik pemerintah, Lokananta memproduksi dan mendistribusikan rekaman keroncong ke seluruh Indonesia.
Pada masa ini, nama-nama besar seperti Waldjinah mulai bersinar, yang dinobatkan sebagai “Ratu Kembang Katjang” pada tahun 1958.
Baca juga: Pakar dari UMS Menjelaskan Masalah Banjir yang Terjadi di Underpass Joglo Solo
Memasuki dekade 1970-an, meskipun menghadapi masalah pembajakan, keroncong tetap menjadi salah satu genre kaset terlaris yang dirilis oleh Lokananta. Popularitas keroncong sempat menurun pada dekade berikutnya akibat serbuan genre rock dan pop.
Daya Adaptasi
Namun, upaya penyelamatan terus dilakukan, salah satunya melalui pendirian Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) oleh R Maladi pada tahun 1975 dan konsistensi orkes-orkes keroncong seperti OK Bintang Surakarta yang dipimpin oleh Waldjinah.
Pada dekade 1990-an, keroncong menunjukkan kemampuan adaptasinya dengan melahirkan subgenre inovatif seperti keroncong pop, bossa nova, hingga rock, yang dipopulerkan oleh musisi seperti Hetty Koes Endang dan Didi Kempot.
Warisan musik ini terus dirawat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2008, saat International Keroncong Festival (IKF) pertama kali diselenggarakan dan Solo ditetapkan sebagai “Kota Keroncong”.






