diswaysolo.id – Dalam waktu singkat, 11.000 takir jenang tradisional dan inovatif habis terjual dalam Festival Jenang Solo (FJS) 2025 yang berlangsung di selasar Ngarsopuro, Solo, pada Senin, 17 Februari 2025 pagi. Hal ini menunjukkan betapa meriah dan antusiasnya festival yang telah berlangsung selama 14 tahun ini.
Festival ini telah menjadi jembatan bagi masyarakat dengan berbagai jenis jenang yang ditawarkan. Warga dari berbagai latar belakang, usia, dan daerah berkumpul untuk menikmati kelezatan kuliner nusantara yang disajikan.
Pada pagi itu, 110 stan jenang tertata rapi di sepanjang citywalk Jl Diponegoro. Stan-stan tersebut berasal dari 60 tim PKK kelurahan dan kecamatan di Kota Solo, serta berbagai asosiasi, perhimpunan, dan komunitas.
Dalam artikel ini, kami akan membahas bagaimana Festival Jenang Solo selama 14 tahun ini telah menyatukan masyarakat melalui beragam jenis jenang yang ada. Mengutip dari Solopos.com, mari kita simak dan baca hingga tuntas!
Beragam jenis jenang dalam Festival Jenang Solo
Sebagian besar stan menyediakan lebih dari satu variasi jenang. Beberapa di antaranya menawarkan jenang tradisional, sementara yang lain menyajikan jenang kreasi yang mereka buat sendiri.
Antusiasme masyarakat untuk hadir dan mencicipi berbagai jenis jenang dalam Festival Jenang Solo sudah terlihat sejak sebelum acara dimulai. Ribuan orang berkumpul di tengah jalan dan memenuhi sisi kanan jalan.
Pengunjung yang hadir berasal dari berbagai kelompok usia, mulai dari balita, anak-anak, orang dewasa, hingga lansia, semuanya berkumpul dalam suasana yang harmonis. Festival ini juga dimeriahkan oleh tiga panggung yang menampilkan beragam pertunjukan seni dari sekolah-sekolah dan komunitas seni.
Sekitar pukul 09.30 WIB, para pengunjung mulai bersiap-siap dan mendekati berbagai stan serta area khusus jenang Keraton Solo. Setelah doa-doa selesai dibacakan, tanpa aba-aba, ribuan pengunjung segera menyerbu jenang-jenang yang tersedia.
Suasana ceria dan akrab sangat terasa pada pagi hari Festival Jenang Solo tersebut. Setiap pengunjung berusaha mendapatkan satu atau dua takir jenang yang mereka inginkan meskipun harus berdesak-desakan.
Nilai sentimentil
Dalam waktu singkat, jenang-jenang tersebut habis terjual hanya dalam 10 menit. Para pengunjung kemudian menikmati jenang pilihan mereka sambil duduk berdesakan di jalanan.
Salah satu peserta yang ikut berebut jenang, Ketik, 64 tahun, dari Punggawan, Banjarsari, Solo, mengungkapkan bahwa ia tidak pernah absen dalam 14 kali penyelenggaraan Festival Jenang Solo (FJS). Baginya, festival ini memiliki makna sentimental yang mendalam.
Melalui festival ini, ia dapat kembali merasakan berbagai jenis jenang yang pernah dinikmatinya di masa kecil, yang kini sulit ditemukan. Selain itu, keseruan saat berebut dan berdesakan menambah keistimewaan pada jenang yang ia santap.
“Rasanya jadi lebih spesial karena harus berebut untuk mendapatkannya,” ujarnya.
Dari ratusan jenis jenang yang ada, jenang tumpang menjadi favorit utamanya. Cita rasa gurih, asin, dan sedikit pedas menjadikan jenang ini berbeda dari yang lainnya yang umumnya manis.
Ketik berharap agar penyelenggaraan Festival Jenang Solo di masa mendatang dapat memperbaiki penataan stan serta akses keluar masuk bagi pengunjung. Ia juga mencatat masih banyak pengunjung yang mengambil jenang sebelum waktu yang ditentukan.
Di sisi lain, salah satu pembuat jenang dari Kelurahan Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Solo, Dwi Astuti Taufik, 62 tahun, membawa 150 takir jenang sambal goreng untuk dibagikan kepada masyarakat. Ia mengaku memerlukan waktu dua hari untuk berbelanja dan memasak jenang tersebut.
Bagi Dwi, FJS merupakan kesempatan untuk memperkenalkan jenang-jenang lokal yang mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat. Dengan demikian, kuliner ini dapat terus bertahan dan bersaing dengan kuliner modern lainnya.
Memperkuat integrasi masyarakat
FJS merupakan acara yang penuh keceriaan, di mana saya dan rekan-rekan dapat berbagi kebahagiaan melalui jenang. Harapan saya, pelaksanaan acara ini semakin baik setiap tahunnya. Khusus untuk Kota Solo yang telah berusia 280 tahun, semoga semakin maju dan sejahtera.
Di sisi lain, Tundjung Wahadi Sutirto, pengurus Yayasan Jenang Indonesia dan sejarawan, menyatakan bahwa Festival Jenang Solo berfungsi sebagai alat untuk memperkuat integrasi masyarakat Solo yang beragam. Secara filosofis, jenang yang memiliki karakter lengket ini melambangkan persatuan antar sesama.
“Semakin banyak festival yang diadakan di kota yang beragam, maka integrasi sosialnya akan semakin kokoh. Kebetulan ini adalah festival jenang, yang secara filosofis memiliki makna untuk menyatukan,” ujarnya dalam sesi jumpa pers di Omah Sinten, Kamis, 13 Februari 2025.
Melalui FJS 2025 yang mengusung tema Mustika Jenang Nusantara, dia berharap masyarakat Solo semakin bangga, karena di berbagai sudut Kota Solo masih mudah ditemukan berbagai jenis jenang, seperti sumsum, ketan hitam, bubur lemu, dan lain-lain yang perlu dilestarikan.
Sementara itu, Wali Kota Solo, Teguh Prakosa, setelah acara menyatakan keinginannya agar FJS 2026 diselenggarakan dengan lebih meriah. Dengan melihat antusiasme warga yang tinggi, ia berpendapat bahwa jumlah jenang yang dibagikan seharusnya lebih dari 10.000 atau bahkan puluhan ribu takir.
“Bukan hanya 10.000, bisa lebih dari itu atau puluhan ribu. Karena FJS ini dapat memberdayakan ekonomi masyarakat. Jadi, pemimpin kota ke depan harus cermat dalam melihat peluang ini,” jelasnya.
Demikianlah ulasan mengenai Festival Jenang Solo yang telah menyatukan masyarakat selama 14 tahun dengan berbagai jenis jenang yang ada. Semoga informasi ini bermanfaat.






