diswaysolo.id — Keraton Solo memliki 4 tari klasik yang sudah berusia ratusan tahun. Pada April 2024 lalu, ada sembilan penari wanita melangkah perlahan memasuki Bangsal Smarakata Keraton Solo . Dengan mengenakan rompi ungu, mereka juga membawa panah di tangan kiri.
Diiringi gending Sukoharjo Laras Pelog Pathet Nem, para penari menampilkan gerakan yang lembut dengan tempo yang lambat. Tari ini adalah Tari Bedhaya Sukoharjo yang menjadi pembuka pentas KeratonArt Festival malam itu.
Tari Bedhaya Sukoharjo diciptakan oleh Paku Buwana IX (memerintah 1861–1893 M) tidak lama setelah ia naik tahta. Penciptaan tari ini bertepatan dengan selesainya Pesanggrahan Langenharjo yang kini terletak di Desa Langenharjo, Grogol, Sukoharjo.
Tarian atau beksan serta gending Bedhaya Sukoharjo pertama kali dipentaskan di Pesanggrahan Langenharjo. Tari ini juga pernah ditampilkan di Sasana Sewaka Keraton Solo sebagai jamuan bagi tamu dari Pemerintah Hindia Belanda. Pementasan tersebut dilakukan karena saat peresmian Pesanggrahan Langenharjo, Pemerintah Hindia Belanda tidak sempat mengirimkan utusan.
Dalam artikel ini, kami akan mengupas kisah di balik pertunjukan 4 tari klasik keraton Solo. Mari kita simak dan baca hingga tuntas!
Tari Sancaya Kusumawicitra
Pada tahun 1988, tari ini mengalami modifikasi tanpa mengubah gerakan-gerakan dasarnya oleh putri Pakubuwana XII, GRaj. Koes Moertiyah, dengan persetujuan dari ayahnya.
Pertunjukan tari ini berlangsung selama sekitar 30 menit, diikuti dengan penampilan Tarian Sancaya Kusumawicitra. Berbeda dengan penampilan sebelumnya yang menonjolkan kelembutan, tari ini lebih menekankan pada ketegasan.
Tari Sancaya Kusumawicitra ditampilkan oleh dua penari yang gagah, melambangkan dua prajurit yang sedang bertempur. Oleh karena itu, penari yang memegang keris menunjukkan gerakan saling menghunus senjata.
Tarian berpasangan ini merupakan warisan seni tari yang sudah ada sejak lama, diciptakan oleh Paku Buwana I ketika pusat pemerintahan berada di Keraton Kartasura.
Paku Buwana I ingin menyampaikan pesan tentang etika dan sopan santun dalam berperang. Dalam tarian ini, tidak ada yang kalah atau menang.
Dengan demikian, tarian ini menyampaikan pesan bahwa meskipun seorang ksatria berada di medan perang, ia tetap harus menjunjung tinggi etika. Saat ini, pesan tersebut bersifat universal bagi siapa saja, termasuk para penguasa, untuk selalu mengutamakan etika.
Tarian ini pertama kali dipentaskan dengan iringan gending Carabalen, namun pada masa pemerintahan Paku Buwana IX, iringan tersebut diganti dengan Gending Ketawang Pisan Bali.
Penghormatan kepada Raja
Pertunjukan dilanjutkan dengan tarian Srimpi Sangupati yang dibawakan oleh empat penari wanita dari Keraton Solo. Di tengah panggung terdapat sebuah meja dengan taplak merah, di atasnya terletak dua gelas dan dua botol berisi minuman merah. Para penari mengelilingi meja tersebut.
Setelah beberapa saat, masing-masing penari mengambil gelas dan botol tersebut. Dua penari yang memegang botol kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas yang dipegang oleh dua penari lainnya. Beberapa saat kemudian, dua penari itu meminum minuman tersebut dan melanjutkan tarian mereka.
Tari yang ditampilkan selama sekitar 15 menit ini merupakan warisan dari Paku Buwana IV (memerintah 1788-1820). Tarian ini awalnya dikenal dengan nama Srimpi Sang Apati, yang berarti penghormatan kepada raja.
Namun, pada masa pemerintahan Paku Buwana IX, nama Srimpi Sang Apati diubah menjadi Sangupati. Perubahan nama ini terkait dengan permintaan dari Hindia Belanda untuk menyerahkan tanah pesisir Jawa.
Untuk membahas hal tersebut, diadakan pertemuan antara keduanya. Paku Buwana IX mengambil inisiatif untuk menjamu tamu-tamu dari Belanda dengan pertunjukan Srimpi Sangupati. Namun, di balik itu semua, pertunjukan tersebut ternyata merupakan sebuah strategi. Tidak hanya sekadar hiburan.
Paku Buwana IX berusaha untuk menggagalkan perjanjian dengan Belanda dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu terjadinya pertumpahan darah. Oleh karena itu, para penari Srimpi Sangupati membawa pistol asli yang berisi peluru sebagai bagian dari properti pertunjukan.
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk bersiap-siap jika perundingan tidak berhasil, sehingga para penari Srimpi Sangupati siap untuk mengambil tindakan terhadap utusan Belanda. Mereka pun telah siap untuk mengorbankan nyawa mereka. Makna ini terlihat jelas melalui penggunaan sampur berwarna putih yang dikenakan oleh para penari, yang melambangkan kesucian dan ketulusan.
Setelah Paku Buwana IX meninggal dunia pada tahun 1893 dan digantikan oleh putranya, Paku Buwana X, nama tarian Srimpi Sangupati diubah kembali menjadi Srimpi Sangapati. Hal ini dimaksudkan agar laku hidup tersebut diarahkan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan sesama.
Makna simbolis dari tari Srimpi Sangapati sebenarnya mencerminkan perjalanan manusia dalam mengatasi hawa nafsu yang selalu menyertai kehidupan.
Pertunjukan malam itu ditutup dengan tari Bandayuda yang dibawakan oleh empat penari laki-laki. Para penari yang membawa properti tongkat pendek dan perisai menari dengan kuda-kuda yang lebar. Setiap gerakan mereka mencerminkan ketegasan, kegagahan, dan kelincahan.
Hal ini dapat dimaklumi, karena tari yang diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IV ini terinspirasi dari Tari Wirang Lawung karya Sultan Agung Prabu Hanyakra Kusumo dari Kesultanan Mataram Islam (1613-1645), yang menggambarkan empat prajurit yang sedang berlatih perang dengan menggunakan senjata tombak.
Namun, dalam tari Bandayuda, senjata tombak digantikan dengan bindi atau tongkat pendek yang dilengkapi dengan perisai dari rotan. Tarian ini membawa makna simbolis bahwa manusia memiliki empat nafsu, yaitu lauwamah (biologis), supiah (duniawi), amarah (emosional), dan mutmainah (spiritual). Keempat nafsu tersebut saling memengaruhi perilaku manusia.
Oleh karena itu, pesan yang ingin disampaikan melalui tari Bandayuda adalah pentingnya menyeimbangkan keempat nafsu agar dapat mencapai kehidupan yang sempurna.
Dari informasi yang dihimpun, GKR Wandansari yang merupakan adik Paku Buwana XIII dan akrab disapa Gusti Moeng menyatakan bahwa pertunjukan malam itu merupakan bagian dari peringatan hari tari dunia yang diselenggarakan oleh pihak keraton.
Ini adalah kali pertama Keraton Solo mengadakan peringatan hari tari dunia secara terpisah. Sebelumnya, pertunjukan tari di Keraton Solo dilakukan bersamaan dengan acara 24 Jam Menari ISI Solo. Namun, tahun ini, Gusti Moeng merasa perlu untuk melaksanakannya secara mandiri.
Seperti diketahui, Keraton adalah sumber budaya Jawa. Gusti Moeng mengaku akan rutin mengadakan pertunjukan di Bangsal Smarakata setiap tanggal 29 April. Dimana kegiatan itu adalah bagian dari pelestarian dan pengembangan budaya.
Demikianlah penelusuran mengenai cerita dibalik pertunjukan empat tari klasik Keraton Solo. Semoga informasi ini bermanfaat.






