BOYOLALI, diswaysolo.id – Di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Kecamatan Selo, Boyolali, terdapat sebuah desa bernama Senden. Nama desa ini konon berasal dari kisah seorang tamu yang bersandar di sebuah pohon di daerah tersebut ratusan tahun yang lalu. Cerita awal desa Senden Boyolali.
Kepala Desa Senden, Sularsih, menjelaskan bahwa penamaan desa ini berdasarkan cerita yang diwariskan secara turun-temurun.
Sekitar 300 tahun lalu, ketika daerah Senden masih hutan lebat, sepasang suami istri dari Salatiga melarikan diri ke hutan sepi tersebut.
Suami bernama Eyang Rononggolo, mereka mendirikan gubug untuk membuat hutan yang sepi itu menjadi lebih hidup.
Di hutan tersebut, mereka kemudian mendirikan gubug agar hutan yang sepi itu ramai,” jelas Sularsih, Kamis, 24 April 2025.
Cerita awal desa Senden Boyolali, berasal dari tamu yang bersandar
Setelah 10 tahun tinggal di sana, seorang pria tak dikenal datang dan bersandar pada pohon kantil yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah Rononggolo.
Ketika Rononggolo bertanya tentang identitasnya, pria itu hanya menyebutkan berasal dari Kediri dan menuju Jogja, sambil mengaku sangat lelah dan menjawab pertanyaan sambil bersandar atau ‘sendhen’.
Setelah beberapa hari beristirahat di rumah Eyang Rononggolo, akhirnya pria tersebut berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja. Ia berpesan agar tempat tersebut, ketika sudah ramai, memberi nama Senden,” kata Sularsih.
Setelah itu, pria tersebut melanjutkan perjalanannya dan beristirahat di bawah pohon kantil yang terletak di tengah padang rumput glagah yang luas.
Ia kemudian menyatakan bahwa karena daerah tersebut ramai, maka dinamakan Glagah Ombo. “Tiba-tiba, pria itu pun menghilang,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa jarak antara pohon kantil yang menjadi Dukuh Senden dan Glagah Ombo sekitar satu kilometer. Saat ini, Desa Senden memiliki sekitar 1.370 penduduk, mayoritas di antaranya bekerja sebagai petani sayur.
Terdapat tradisi wiwitan panen tembakau
Sularsih menjelaskan bahwa Senden terletak pada ketinggian 1.300 mdpl. Saat ini, Senden terdiri dari 24 RT dan 6 RW,
serta memiliki 12 dukuh, yaitu Pasah, Pasah II, Gunungsari, Ngargosari, Muntuk, dan Brajan di Kadus I.
Di Kadus II terdapat Dukuh Sengon, Tegalsari, Senden, Glagahombo, Kemangen, dan Sidomulyo. “Tradisi di tempat kami masih sangat kuat, ada bersih dusun, selametan air minum saat Sura, hingga tungguk tembakau,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa selamatan untuk sumber air minum kami lakukan dengan menyedekahkan kambing.
Selamatan ini kami adakan di sumber Tirto Mulyo dengan berdoa dan memberikan kepala kambing untuk mata air tersebut.
“Di sana, sedekah dan selamatan kami lakukan dengan ingkung bersama ulu-ulu atau masyarakat yang menjaga air,” ujarnya. Setelah itu, bagian tubuh kambing kami olah dan kami makan bersama.
Selain itu, terdapat tradisi wiwitan panen tembakau yang kita sebut Tungguk Tembakau. Sularsih menceritakan bahwa dulunya tradisi tungguk tembakau hanya kami lakukan secara pribadi.
“Ketika wiwit tembakau atau mulai memetik tembakau, ada selamatan di ladang masing-masing dengan membawa ingkung, kopi, pisang, jenang, dan lain-lain,” ujarnya.