diswaysolo.id – Di area Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Keraton Solo, terdapat tiga gapura utama yang disebut Marga Tri Gapuraning Ratu. Ketiga gapura bersejarah ini berfungsi sebagai pintu masuk dan keluar keraton dari arah timur, barat, dan selatan. Menelusuri marga Tri Gapuraning Ratu.
Gapura pertama dalam Marga Tri Gapuraning Ratu adalah Gapurendra, yang juga dikenal sebagai Gapura Gadhing. Nama gapura ini berasal dari kata “gapura” yang berarti gerbang dan “narendra” yang berarti raja.
Gapura ini terletak di ujung selatan Alun-alun Kidul, tepatnya di Perempatan Gading. Pembangunan gapura ini dimulai pada tahun 1932 dan diresmikan pada Rabu, 22 Juni 1938.
Menelusuri marga Tri Gapuraning Ratu
Menurut informasi dari akun Instagram Keraton Solo @karatonsurakartahadiningrat, gapura ini menggabungkan elemen arsitektur Eropa dan Jawa dengan desain lengkung.
Di gapura ini juga terdapat lambang Sri Radya Laksana yang bertuliskan PB X, serta pilar penjaga bergaya Tuscan Romawi.
Keunikan gapura ini juga terlihat dari adanya dua arca Mahakala yang tempatnya berada pada sisi kanan dan kiri gapura sebagai simbol perlindungan.
Gapura kedua adalah Gapura Bathangan, yang terletak pada sisi timur laut Alun-alun Utara, tepatnya di Jalan Kyai Gede (menuju Pasar Beteng dan Pusat Grosir Solo).
Dahulu, gapura ini terkenal dengan nama Kori Gledhegan Wetan, namun seiring berjalannya waktu, namanya berubah menjadi Gapura Bathangan.
Nama Bathangan yang terdapat pada gapura Keraton Solo konon berasal dari penemuan jasad yang terkenal sebagai Kyai Bathang untuk area tersebut. Jasad ini dugaannya merupakan Raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang dari era Kerajaan Pajang.
Nama Selompretan terambil dari suara terompet yang tertiup
Selanjutnya, terdapat Gapura Selompretan, yang sebelumnya terkenal sebagai Kori Gledhegan Kulon. Nama ini berubah menjadi Gapura Selompretan dan peresmiannya bersamaan dengan Gapura Bathangan pada tanggal 8 Maret 1939.
Gapura ini terletak di barat daya Alun-Alun Utara, tepatnya di Jalan Dr Rajiman, yang mengarah ke Pasar Klewer.
Dalam tinjauan arsitektur, nama Selompretan terambil dari suara terompet yang tertiup saat kereta-kereta berangkat.
Dulu, area ini menganggapnya sebagai titik Pakretan, tempat berhentinya kereta para tamu abdi dalem yang menghadiri pisowanan atau pertemuan besar.
Azzahra Mutiara Fatimah, seorang mahasiswa Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII), dalam karya ilmiahnya tahun 2019 berjudul Karakteristik Gapura Jalan di Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta, menyatakan bahwa secara arsitektural, Gapura Bathangan dan Selompretan terpengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa.
Hal ini terlihat dari penggunaan kolom dan lengkungan di atasnya. Kedua gapura tersebut memiliki delapan kolom, dengan empat kolom pada sisi barat dan empat untuk sisi timur.
Dari segi fasad, kolom-kolom ini mencerminkan arsitektur Eropa, khususnya gaya Yunani yang terkenal dengan kolom Doric.
“Baik Gapura Bathangan maupun Selompretan memiliki fungsi, warna, dan bentuk yang serupa.
Keduanya juga menampilkan simbol Radya Laksana dan kolom doric. Perbedaan hanya terletak pada lokasi dan bentuk puncaknya,” tulisnya.
Dosen Akidah dan Filsafat UIN Raden Mas Said Surakarta, Siti Nurlaili Muhadiyatiningsih, dalam tulisannya yang berjudul Dimensi Estetika dan Identitas Budaya dalam Bangunan Keraton Surakarta, menjelaskan bahwa beberapa orang menginterpretasikan gapura sebagai simbol pemaafan, karena kata tersebut berasal dari bahasa Arab “ghofuro” yang berarti memaafkan.
“Lanskap filosofis dari gapura mencerminkan perjalanan kehidupan manusia yang terus berlangsung. Manusia dilahirkan, tumbuh, menua, dan akhirnya meninggal. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk memiliki sikap saling memaafkan,” ungkapnya.