Sragen  

Mengungkap 2 Mitos Terkenal di Masyarakat, Terdapat Batu Kramat di Pasar Kota Sragen

Mitos terkenal di masyarakat Sragen yaitu pengantin di bopong ke sendang
Mitos terkenal di masyarakat Sragen yaitu pengantin di bopong ke sendang

SRAGEN, diswaysolo.id – Sebagian warga di Bumi Sukowati masih memegang erat kepercayaan atau mitos yang sering kali sulit dipahami secara logis yaitu adanya mitos terkenal di Masyarakat Sragen.

Meskipun mitos terkenal di masyarakat Sragen ada kontroversi yang menyertainya, mitos-mitos ini telah menjadi bagian dari warisan budaya masyarakat Jawa.

Dalam artikel ini, kami akan mengupas mengenai mitos terkenal di masyarakat Sragen tentang batu kramat yang tidak dapat dipindahkan. Mari kita simak dan baca hingga tuntas!

Berikut adalah 2 mitos terkenal di masyarakat Sragen yang beredar.

1. Mitos Pengantin Dibopong ke Sendang

Di Dukuh Sendang, Desa Kalangan, Gemolong, Sragen, terdapat sebuah ritual khas yang dijalani oleh pasangan pengantin. Setelah dirias, pengantin akan dibopong oleh warga menuju sendang yang terletak tidak jauh dari desa.

Di area tersebut terdapat dua sendang yang dikenal dengan sebutan sendang lanang dan sendang wadon. Kedua sendang ini memiliki sumber air yang selalu mengalir, dan airnya telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat sejak zaman dahulu.

Di sekitar sendang, terdapat sebuah patung Ganesha yang sudah kehilangan bagian kepalanya. Saat ada pernikahan, sendang ini menjadi tempat yang ramai dikunjungi warga yang ingin menyaksikan ritual yang dilakukan oleh pasangan pengantin sebelum melanjutkan ke prosesi pernikahan di rumah.

Meskipun ritual ini tidak diwajibkan, masyarakat setempat mendorong agar tradisi ini diikuti, terutama bagi pengantin perempuan yang berasal dari daerah tersebut.

Setelah dibopong ke sendang, pasangan pengantin diminta untuk duduk di atas tikar. Di atas tikar tersebut, mereka diajak berdoa oleh seorang nenek yang memimpin ritual. Di depan mereka, terdapat sebuah kendi berisi air dari sendang.

Selanjutnya, nenek tersebut meminta pasangan pengantin untuk berdiri. Ia kemudian menuangkan air dari kendi dan memimpin pasangan pengantin serta para pengiringnya untuk mengelilingi lokasi hingga tiga kali, mengikuti jejak yang ditinggalkan oleh air dari kendi tersebut.

Baca Juga:  Kuliner di Sragen yang Paling Update, Yuk Simak!

Saya telah berusaha menggali informasi dari tokoh masyarakat di sini. Ritual tersebut belum memiliki nama resmi. Saya sendiri menyebutnya tradisi kethur kendi.

Ini merupakan salah satu kearifan lokal di Desa Kalangan yang merupakan warisan nenek moyang dan masih terjaga hingga saat ini, kata Yoto Teguh Pambudi, warga Dukuh Sendang, Desa Kalangan.

Selain pasangan pengantin, beberapa alat gamelan juga dibawa oleh warga ke sendang. Gamelan tersebut dimainkan untuk mengiringi perjalanan pasangan pengantin selama menjalani ritual. Tradisi yang diikuti oleh pasangan pengantin ini telah menjadi bagian dari budaya di lima dukuh di dua desa.

Dukuh tersebut adalah Sendang, Nglebak, Brumbung, Sentana (Desa Kalangan) dan Desa Nglebak Nganti (Desa Nganti). Sebagian warga meyakini bahwa ritual ini harus dilalui oleh pasangan pengantin.

Jika tidak dilakukan, ada kekhawatiran di antara warga bahwa kehidupan setelah pernikahan akan dihadapkan pada banyak cobaan atau rintangan.

“Sebenarnya itu hanya mitos. Boleh percaya atau tidak. Bagi pendatang seperti saya, ini adalah tradisi budaya yang menarik. Ini adalah kearifan lokal yang tidak ditemukan di desa lain.

Saya melihatnya sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan. Mungkin bagi warga asli, tradisi ini dianggap biasa dan tidak ada yang istimewa,” ungkap Teguh.

Ritual kethur kendi memiliki makna filosofis. Melalui tradisi ini, pasangan pengantin diajak untuk selalu bersyukur atas nikmat Ilahi sebagai bekal dalam membangun rumah tangga. Air merupakan salah satu rezeki dari Allah yang harus disyukuri.

“Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tanaman pangan akan mati. Sementara itu, manusia tidak dapat hidup tanpa makanan yang dihasilkan dari tanaman.  Oleh karena itu, pasangan pengantin diajarkan untuk bersyukur atas nikmat Ilahi,” jelas Teguh.

Baca Juga:  Rekomendasi Sekolah di Sragen Bisa Jadi Referensi Kamu Nih

2. Mitos Batu Keramat di Pasar Kota Sragen

Di sebelah barat sumur yang terletak di tengah pasar, terdapat sebuah los yang berbeda dari los pedagang lainnya. Jika los lain dipenuhi dengan berbagai macam dagangan, los ini hanya menampung dua batu besar.

Namun, kedua batu tersebut bukanlah batu biasa. Mereka dianggap keramat oleh para pedagang dan pengunjung pasar. Salah satu batu memiliki permukaan yang sedikit cekung, sementara batu lainnya datar.

Di atas kedua batu tersebut, terdapat bunga tabur. Di antara keduanya, terdapat sebuah tungku yang digunakan untuk menyalakan dupa atau wewangian. Di depan batu-batu itu, terhampar tikar yang terbuat dari serat pelepah pisang.

Tikar ini biasanya digunakan oleh para peziarah untuk duduk bersila. Para pedagang sering menyebut kedua batu besar ini sebagai Mbah Watu atau Eyang Watu.

Beberapa orang menganggapnya sebagai makam Mbah Watu atau Eyang Watu, sementara yang lain berpendapat bahwa batu-batu tersebut merupakan petilasan dari Mbah Watu. Namun, identitas Eyang Watu masih menjadi misteri. Ada juga yang menyebut Mbah Watu sebagai nama untuk kedua batu tersebut.

Ketua Kerukunan Pedagang Pasar Kota Sragen (KPPKS), Mario, mengakui bahwa dia tidak mengetahui sejarah di balik sosok Eyang Watu. Menurut cerita yang dia dengar, Eyang Watu merujuk pada dua batu besar yang terletak di tengah Pasar Kota Sragen.

“Dulu, konon batu-batu itu pernah dipindahkan ke pasar kecil di depan terminal lama [Terminal Bus Martonegaran], tetapi akhirnya kembali lagi ke Pasar Kota Sragen,” jelas Mario.

Demikian pelusuran mengenai mitos terkenal di masyarakat Sragen tentang batu kramat yang tidak dapat dipindahkan. Semoga bermanfaat.