Klaten  

Pura Pucangsari di Klaten, Didirikan dalam Lingkungan Islam Sebagai Lambang Toleransi Antarumat Beragama

Pura Pucangsari Klaten sebagai simbol toleransi antar umat beragama
Pura Pucangsari Klaten sebagai simbol toleransi antar umat beragama

KLATEN, diswaysolo.id – Pura Pucangsari kini menjadi salah satu destinasi yang populer. Terletak di kawasan Pucang Srebegan Ceper Klaten, pura ini tidak tergolong besar.

Untuk mencapai lokasi ini, pengunjung harus melewati area yang padat penduduk. Namun, Pura Pucangsari berdiri dengan megah, menampilkan warna merah mencolok yang dapat terlihat dari jarak jauh.

Tempat yang menarik ini mendadak ramai dikunjungi oleh para wisatawan, terutama saat bersepeda. Banyak yang menyebutnya sebagai “Bali-nya Klaten” setelah tiba di Pura Pucangsari.

Dalam artikel ini akan kami ulas mengenai Pura Pucangsari di Klaten, didirikan dalam lingkungan islam, sebagai lambang toleransi antarumat beragama. Mari kita simak dan baca sampai selesai ya!

Melihat Perkembangan dari Pura Pucangsari

Salah satu penjaga Pura Pucangsari, Sugiasto, menjelaskan bahwa pada hari Sabtu atau Minggu pagi, kawasan pura sering dipenuhi oleh pesepeda dan wisatawan yang ingin berfoto dengan latar belakang pura.

Namun, tidak semua pengunjung diizinkan untuk memasuki area suci yang hanya diperuntukkan bagi umat Hindu. Secara umum, bangunan pura terbagi menjadi tiga bagian: kepala (bangunan suci), badan, dan kaki.

Pengunjung diperbolehkan mengunjungi bagian badan dan kaki dengan syarat menjaga kesopanan, tidak membuat kebisingan, dan tidak mencemari pura.

Di sisi kanan pura, terdapat Punia (kotak sumbangan) yang dapat diisi oleh pengunjung secara sukarela untuk mendukung biaya perawatan dan kebersihan bangunan.

Diceritakan bahwa jumlah umat Hindu yang beribadah di Pura ini sebelumnya mencapai sekitar 120 kepala keluarga, namun kini jumlah tersebut menyusut menjadi sekitar 60 kepala keluarga yang merupakan pemeluk agama Hindu di daerah tersebut, sementara umat dari desa atau wilayah lain juga turut beribadah.

Mereka hidup berdampingan dengan umat Islam. Lingkungan Pura Pucangsari terletak dekat dengan pemukiman yang dihuni oleh masyarakat dengan beragam agama, di mana mayoritasnya adalah umat Islam.

Baca Juga:  Deles Indah Spot Terbaik Melihat Puncak Merapi, Desatinasi Yang Wajib Dikunjungi

Sejarah berdirinya pura ini berasal dari tanah kas desa. Pada awalnya, jumlah umat Hindu Jawa dan umat Islam cukup seimbang.

“Saya mendengar bahwa tanah kas desa ini awalnya direncanakan untuk pembangunan sekolah, yaitu MTs. Namun, atas permintaan tokoh-tokoh Islam, tanah tersebut diserahkan kepada umat Hindu untuk dibangun pura, agar akses ibadah umat Hindu di sini menjadi lebih mudah dan dekat.

Berdiri tahun 1985

Di sekitar juga sudah banyak masjid yang berdiri. Sebelumnya, ada rencana untuk membangun gereja di sebelah pura, tetapi lahan yang tersedia tidak mencukupi,” ujarnya sambil menambahkan bahwa pura ini didirikan pada tahun 1985.

Dari segi arsitektur, bangunan pura ini mengusung konsep rumah ibadat Hindu-Jawa dengan mayoritas ukiran yang khas dari Kerajaan Majapahit, bukan ukiran Bali.

Ia juga menambahkan bahwa Hindu Jawa dan Hindu Bali memiliki perbedaan dalam adat istiadat serta ukuran bangunan pura.

“Hindu Bali memiliki sistem kasta, sedangkan Hindu Jawa tidak memilikinya,” ujarnya dengan tegas. Upaya untuk melestarikan tradisi Hindu Jawa dilakukan melalui berbagai kegiatan di Pura, yang juga melibatkan masyarakat sekitar yang bukan pemeluk agama Hindu.

“Pada Hari Raya Nyepi, kami mengadakan upacara untuk menghormati Ibu Pertiwi, dan saat Udalan yang biasanya berlangsung pada bulan November, terdapat juga penampilan Tari Gambyong dalam upacara tersebut.

Bahkan, beberapa warga di sini, terlepas dari agama mereka, belajar Tari Gambyong di pura ini. Toleransi antar umat beragama di daerah ini telah terjaga sejak zaman dahulu hingga kini,” tambahnya.

Demikian ulasan mengenai mengenai Pura Pucangsari di Klaten, didirikan dalam lingkungan islam, sebagai lambang toleransi antarumat beragama. Semoga bermanfaat.