WONOGIRI, DISWAYSOLO.ID — Prasasti Telang yang berasal dari tahun 904 Masehi mencatat tiga desa yang terletak di tepi timur Sungai Bengawan Solo, wilayah Wonogiri, sebagai daerah perdikan dari Kerajaan Mataram Kuno. Ketiga desa tersebut adalah Desa Telang, Desa Mahai atau Mahe, dan Desa Paparahuan.
Dalam prasasti yang berusia hampir 1.120 tahun ini, Desa Paparahuan disebutkan sebagai titik penyeberangan di Sungai Bengawan Solo. Sayangnya, nama desa tersebut kini sudah tidak lagi digunakan.
Sejumlah arkeolog dan sejarawan telah berupaya untuk mengidentifikasi lokasi desa-desa tersebut berdasarkan informasi yang terdapat dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Mataram Kuno.
Melalui berbagai analisis, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, diidentifikasi sebagai lokasi Desa Paparahuan, yang merupakan desa dari era Mataram Kuno di Wonogiri.
Penemuan prasasti Telang di situs Wonoboyo
Pernyataan ini disampaikan oleh Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam jurnal berjudul Situs Wonoboyo di DAS Bengawan Solo, Wonogiri: Identifikasi Desa Paparahuan Dalam Prasasti Tlang (904 M) yang diterbitkan oleh Amerta pada tahun 2016.
Jurnal tersebut menjelaskan bahwa Prasasti Telang ditemukan di Situs Wonoboyo, tepatnya di halaman Pesanggrahan Mojoroto milik Yap Bio Ging yang terletak di wilayah Wonoboyo, Wonogiri.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Solopos.com, pesanggrahan tersebut kini berfungsi sebagai Rumah Pelayanan Sosial Eks Psikotik Esti Tomo.
Prasasti Telang yang mencatat tiga desa dari era Mataram Kuno di Wonogiri terdiri dari Prasasti Telang I (2 lempeng), Prasasti Telang II (1 lempeng), dan Prasasti Wonoboyo atau Prasasti Telang III (1 lempeng) yang ditemukan pada bulan Juli 1933 pada masa pemerintahan Mangkunagoro VII.
Penjelasan mengenai prasasti tersebut mengungkapkan kisah Raja Dyah Balitung, Raja Mataram Kuno, yang memenuhi nazar dari raja yang dimakamkan di Sastarangga untuk membangun tempat penyeberangan. Lokasi penyeberangan ini terletak di Desa Paparahuan, dilengkapi dengan dua perahu dan dua perahu cadangan.
Penelitian Tim Arkeolog nasional
Tim Arkeologi Nasional melakukan penelitian dan menyatakan, “Tempat penyeberangan ini ditujukan bagi penduduk desa yang ingin menyeberangi Bengawan Solo tanpa biaya.
Untuk mendanainya, Desa Telang, Desa Mahe, dan Paparahuan yang termasuk dalam wilayah Huwusan dijadikan perdikan,” ungkap Nastiti yang dikutip dari Jurnal Amerta No.1, Juni 2016, pada Rabu (24/5/2023).
Di Jatirejo, Wonoboyo, Wonogiri, terdapat Rumah Pelayanan Sosial Eks Psikotik Esti Tomo, yang dulunya merupakan pesanggrahan Mojoroto, tempat penemuan Prasasti Telang pada tahun 1933.
Nastiti juga menyebutkan bahwa arkeolog Belanda WF Stutterheim pernah mengidentifikasi Desa Telang sebagai Desa Teleng di Kecamatan Manyaran.
Selain itu, Desa Paparahuan diidentifikasi berada di sebelah barat Gunung Gandul, Kecamatan Wonogiri, karena terdapat Dusun Praon di sana.
Namun, Nastiti tidak sependapat dengan pengidentifikasian desa-desa era Mataram Kuno di Wonogiri tersebut. Tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pernah melakukan penelitian di lokasi itu pada tahun 2008 dan tidak menemukan nama Dusun Praon di sebelah barat Gunung Gandul.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Solopos, wilayah sebelah barat Gunung Gandul adalah Kelurahan Giriwono, Kecamatan Wonogiri.
Menurut data administrasi kelurahan, terdapat 11 lingkungan di Kelurahan Giriwono, tetapi tidak ada nama dusun atau lingkungan Praon di area tersebut.
Situs Wonoboyo
Terletak di Lingkungan Jatirejo, Wonogiri, dan kemungkinan besar dapat diidentifikasi sebagai Desa Paparahuan pada masa Mataram Kuno.
Lokasinya yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo menjadikannya tempat yang strategis untuk penyeberangan yang menghubungkan dua wilayah di kedua sisi sungai.
Menurut penjelasan Nastiti, berdasarkan informasi dari WF Stutterheim, hingga tahun 1934, masih terdapat aktivitas penyeberangan di Sungai Bengawan Solo di Dusun Jatirejo untuk mengangkut ternak.
Ternak tersebut merupakan komoditas yang diperdagangkan pada hari pasaran, namun saat ini penyeberangan tersebut sudah tidak ada lagi. “Melihat Situs Wonoboyo, lebih tepat jika dihubungkan dengan Desa Paparahuan dibandingkan dengan Dusun Kedungprahu, Desa Pare, dan Dusun Kedungprahu, Desa Karanglor [Manyaran] yang terletak di dataran tinggi dan tidak memiliki akses transportasi sungai,” ungkapnya.
Rendra Agusta, Epigraf cum Filolog dari Sraddha Institute, menyatakan bahwa Prasasti Telang pertama kali ditemukan oleh warga pada 17 Juli 1933 saat Mangkunegara VII berkunjung ke pesanggrahannya di Desa Wonoboyo. Prasasti Telang tersebut dikeluarkan oleh Raja Mataram Kuno, Dyah Balitung, pada bulan Posya 825 Saka atau 11 Januari 904 Masehi.
Ning Pras, Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Wonoboyo, menjelaskan bahwa Lingkungan Jatirejo terletak di tepi timur Sungai Bengawan Solo, di sisi timur Jembatan Jurang Gempal. Dia juga menambahkan bahwa Rumah Pelayanan Sosial Eks Psikotik Esti Tomo berada di Dusun Jatirejo, Kelurahan Wonoboyo. “Saat ini, tidak ada lagi kegiatan penyeberangan yang menggunakan perahu,” kata Ning.
Nastiti menjelaskan bahwa ada dua dusun yang namanya mengandung unsur perahu, yaitu Dusun Kedungprahu yang terletak di Desa Pare, Kecamatan Selogiri, berjarak dua kilometer dari Sungai Bengawan Solo.
Dusun lainnya adalah Kedungprahu di Desa Karanglor, Kecamatan Manyaran. “Kedua dusun ini berada di dataran tinggi,” kata Nastiti. Dia meragukan bahwa kedua dusun tersebut adalah Desa Paparahuan yang disebut dalam Prasasti Telang.
Hal ini disebabkan oleh letak geografis kedua dusun yang berada di dataran tinggi dan jauh dari sungai besar yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur transportasi air. Sebaliknya, menurutnya, Desa Paparahuan terletak di area di mana Prasasti Telang ditemukan, yaitu di Lingkungan Jatirejo, Kelurahan Wonoboyo.