DISWAYSOLO.ID – Di Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, terdapat makam atau petilasan Eyang Cokrojoyo yang bergelar Kanjeng Sunan Geseng. Cokrojoyo itu merupakan salah seorang santri Sunan Kalijaga.
Meski ada makam di Desa Musuk, tetapi makam atau petilasan Eyang Cokrojoyo diyakini ada di beberapa wilayah di pulau Jawa. Hal itu diungkapkan Mudji, Pinisepuh Desa Musuk, saat Kirab Budaya memetri Bumi pada Jumat, 2 Agustus 2024.
Dia mengungkapkan, terdapat 5 makam di berbagai wilayah pulau Jawa yang diyakini sebagai makam Kanjeng Sunan Geseng.
”Di manakah sebenarnya Eyang Cokrojoyo Kanjeng Sunan Geseng dimakamkan, wallahu’alam… Belum ada transkip sejarah yang secara gamblang menyebutkan kalau Eyang Cokrojoyo Kanjeng Sunan Geseng disemayamkan di Sragen, ataupun di tempat lain di Tanah Jawa,” ungkapnya.
Terlepas dari kebenaran letak makam Eyang Cokrojoyo Kanjeng Sunan Geseng, Mudji mengatakan, sampai saat ini warga Desa Musuk masih sering mengunjungi Petilasan untuk mendoakan Kanjeng Sunan Geseng.
Warga dari desa lain juga kerap berziarah ke petilasan, terutama di Bulan Suro atau setelah musim panen. Hal ini sebagai penghormatan kepada Eyang Cokrojoyo yang telah memohon berkah untuk Desa Musuk kepada Allah SWT.
”Berkat laku batinnya, kini Desa Musuk menjadi desa yang bertanah subur, memiliki pemandangan yang sangat indah, dan air sungai mengaliri persawahan dengan deras,” ungkapnya.
Hingga kini, belum banyak yang mengetahui ada makam seorang wali di Kabupaten Sragen. Khususnya petilasan Eyang Cokrojoyo yang bergelar Kanjeng Sunan Geseng.
Dari informasi yang didapatkan dari portal sragenkab.go.id, ratusan tahun yang lalu, Eyang Cokrojoyo membersamai Kanjeng Sunan Kalijaga dalam perjalanannya menuju Gunung Lawu untuk menunaikan tugas dari Raden Fatah.
Sultan Demak itu mengutus Sunan Kalijaga dan beberapa pengikutnya untuk mengecek kebenaran informasi dari seorang prajurit mata-mata rahasia. Dimana prajurit itu melaporkan bahwa Raja Brawijaya 5 telah melanggar perjanjian dengan membangun Candi Cetho dan Candi Sukuh di sisi barat Gunung Lawu yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Islam Demak.
Sedangkan wilayah kekuasaan Kerajaan Hindu Majapahit yang dipimpin oleh Raja Brawijaya 5 sendiri adalah sisi timur Gunung Lawu.
Sesampainya rombongan Sunan Kalijaga ditepi Sungai Kenatan, yang kini Dusun Musuk RT 19 Desa Musuk, Cokrojoyo merasa tenang dan nyaman. Cokrojoyo kemudian meminta izin kepada gurunya tersebut untuk beristirahat sejenak.
Sang guru kemudian memperkenankan, dengan catatan muridnya itu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum Sunan Kalijaga kembali. Cokrojoyo mengiyakan dan Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan menuju Gunung Lawu bersama rombongan.
Sepeninggal sang empu, Cokrojoyo beristirahat di atas batu. Cokrojoyo melihat kondisi di sekitar Sungai Kenatan sangat kering dan gersang. Dia pun berjanji akan mengangkat derajat daerah ini dan menghormati masyarakat setempat, dengan bersumpah bahwa ia akan membakar jenazahnya dalam waktu yang lama agar harapannya dapat terwujud.
Dengan tekad hatinya, Cokrojoyo melakukan tapa brata yang didorong oleh keinginan kuat untuk memakmurkan tanah yang telah membuatnya terkagum-kagum.
Di tengah-tengah pertapaannya, angin berhembus kencang hingga menumbangkan pohon dan tanaman di sekitar tanah pertapaan. Seketika api yang tidak jelas asal-muasalnya, membakar tempat pertapaan Cokrojoyo. Dalam kebakaran besar itu, tubuh Cokrojoyo pun dilalap oleh api hingga berubah menjadi hitam.
Beberapa saat kemudian, Kanjeng Sunan Kalijaga datang untuk menemui Cokrojoyo. Melihat raga Cokrojoyo yang menghitam, sang wali pun patah hati. Dengan hati yang bersedih, ia memberi Cokrojoyo gelar Sunan Geseng sebagai pengingat atas kejadian yang menimpa salah satu santrinya itu. Geseng adalah kata dalam bahasa Jawa yang dapat diartikan sebagai gosong atau terbakar.
Untuk menjaga tempat bertapa Sunan Geseng, dibuatlah petilasan di Gumuk Sentana atau Bukit Sentono yang dinamakan Petilasan Eyang Cokrojoyo Kanjeng Sunan Geseng.
Terdapat 8 makam yang terletak di petilasan tersebut. Namun sampai saat ini belum ada kejelasan informasi mengenai siapakah pemilik makam tersebut. Warga setempat meyakini, kedelapan makam tersebut merupakan peninggalan nenek moyang mereka. Namun disangsikan salah satu dari makam tersebut adalah milik Eyang Cokrojoyo.